17.

1.7K 170 8
                                    

-selamat membaca-

Aku hanya bisa berharap semoga kitalah pemilik akhir yang bahagia.

Semua berlalu begitu saja, dan sekarang kami sudah berada di bandara. Setelah melewati begitu banyak proses pengecekan, sebentar lagi kami akan terbang ke New York. Negara impian ku, aku akan segera menghirup udaramu! Bahagia sekali rasanya. Banyak sudah bayangan bayangan indah dikepalaku tentang negara itu. Ya Tuhan, terimakasih.

"Lisa," Kris berujar sembari menepuk pelan bahuku, "ayo, ngapain masih berdiri." Kris menarik tanganku, dibelakang ku sudah ada dua orang lelaki yang tidak ku kenali, tapi kata Kris mereka yang akan menjaga kami dari jangkauan orang orang. Aku juga bingung entah apa guna orang itu selain mengikuti langkah kami dari tadi, tapi terserah saja.

Kini aku dan Kris sudah berada didalam pesawat. Jantungku berdebar tak karuan, Eyang tidak pernah mengajak ku keluar negeri, maka itulah aku senorak ini. Aku mengigit bibirku pelan saat pesawat ini lepas landas, dan tanganku berubah dingin. Tetapi lelaki disampingku yang sepertinya sudah terlalu biasa dalam situasi seperti ini hanya duduk tenang, kelewat tenang malah sampai sampai tidak mengubris ku.

Ku perhatikan dalam diam pemandangan yang terpampang dari jendela pesawat itu. Lalu, pikiran ku tiba tiba berputar akan kejadian semalam. Aku lupa bertanya hal itu pada Kris,

"Kris semalam ada kejadian aneh gak?" Kris menoleh, matanya menatap lurus mataku.

"Tidak."

Aku berdecak, "semalem aku ngerasa kayak tiba tiba langsung tidur gitu. Aneh gak sih? Padahal sebelumnya aku melek melek aja," Kris terdiam, aku gemas sendiri.

Aku menunggu jawaban darinya, tetapi tidak ada jawaban apa apa. Kris malah berpura pura memejamkan matanya, lelaki ini menang benar benar! Kalau begini terus aku bisa cepat mati.

"Kris nanti tidurnya, jawab pertanyaan ku dulu." Kris masih sibuk dengan kepura puraanya. Sepertinya aku memang tidak penting baginya, maka yasudahlah. Apa yang bisa ku harapkan dari pernikahan ini. Tidak ada, iya jawabannya adalah tidak ada. Kris menjawab ucapanku saja tidak mau, apalagi membalas perasaanku.

"Tidak terjadi apa apa. Mungkin perasaan mu saja," ucapnya saat aku sudah memalingkan wajah. Apanya yang tidak terjadi apa apa, jelas jelas sebelum kejadian itu banyak kejadian aneh yang tidak ku mengerti, kertas itu adalah tokoh utamanya. Apa maksud isi dari kertas itu. Tetapi rasanya sia sia bertanya pada makhluk es di sampingku ini, jawaban tanpa makna selalu ku dapati. Rasanya mencairkan Kris adalah hal yang tidak akan pernah bisa semesta izinkan untuk ku lakukan.

Kris dan dinginnya adalah dua hal yang tidak bisa lepas. Sampai kapanpun.

✨✨✨

Entah sudah berapa lama kami berada disini, seperti berabad abad rasanya. Untung saja sarana dan fasilitasnya lengkap, tidak seperti pesawat yang sering aku dan Eyang naiki dulu. Kursinya lebih luas dan nyaman, aku juga bisa tidur nyanyak layak di kamar sendiri. Makanan yang enak, jika berada disini lama lama tidak baik untuk badanku, bisa melar kemana mana. Walau begitu tetap saja, bokongku panas jika terlalu lama seperti ini. Tapi Kris bilang, bahwa pesawatnya akan segera mendarat.

Jadi yang kulakukan sekarang adalah mengambil coklat yang ada di dalam tas ku. Coklat itu pemberian dari Bunda Vika, katanya kalau makan coklat bisa menghilangkan bosan. Dan coklat ini baru ku makan setelah melewati kebosanan berkepanjangan sedari tadi. Bodoh bukan?

Sebenarnya tadi aku masih ingin berlama lama dengan Bunda Vika. Sudah lama aku tidak menemuinya. Bunda Vika banyak pekerjaan, karena itu aku sulit bertemu dengan mertuaku itu. Jangankan bertemu, dihubungi saja susah.

Pemberitahuan tentang pesawat yang sebentar lagi akan mendarat terdengar jelas di telingaku, guncangan guncangan kecil itu mulai terasa. Rasanya perutku melilit sendiri saat merasakannya. Dan setelah itu, aku tidak merasa apa apa lagi. Ku bangunkan lelaki wajah bantal disamping ku ini,

"Kris bangun, kamu tidur apa mati suri?" Tanyaku, tetapi tak ada balasan. Ku goyang kan tubuhnya yang masih terlelap indah itu.

"Kebo banget sih!" Aku kesal sendiri karena ulah lelaki ini. Ku cubit lengannya dengan sedikit kuat, Kris menggeliat pelan lalu tak lama terbangun. Matanya merah, pertanda memang dia sekebo itu.

Kris menguap, dan merentangkan tangannya. Dia menatapku dengan tatapan lesu, dan matanya hampir terpejam lagi. Dengan cepat aku mengambil air yang ada di tas ku dan menyipratkan air itu ke wajahnya.

"Saya capek."

Aku memutar bola mata malas, "Aku juga capek. Tapi kita sudah sampai Kris," Kris menang benar benar menguji kesabaran ku.

Saat pesawat sudah benar benar berhenti, dan sebagian orang sudah banyak keluar, aku masih sibuk memikirkan bagaimana membangunkan suamiku ini.

"Kalau beneran gak bangun dalam hitungan ketiga, aku gak ma-

Dia memotong ucapan ku, "tidak mau apa?" Ucapnya sembari terpejam.

"Aku gak mau dekat dekat sama tukang tidur kayak kamu lagi." Aku segera berdiri setelah mengucapkan itu. Sedikit membenahi tambut yang sudah acak acakan, serta menoleskan sedikit hiasan diwajah.

Setelah semua selesai, aku beranjak pergi dari tempat duduk semula dan keluar dari pesawat ini. Aku sudah muak berada di sini, ingin cepat cepat keluar dan menghirup udara negara ini. Dan Kris? Terserah lah. Sudah kubangun kan tetapi tidak mau bangun, mungkin dia akan terbang lagi. Lagian dia kaya, bisa membeli banyak tiket pesawat. Kalau pun ada yang mengganggunya, sudah dipastikan orang itu akan segera kehilangan nyawa akibat baku hantam dari para penjaga Kris yang memiliki badan seperti petinju dunia.

Saat aku sudah keluar dari sana, tidak ada bahasa yang bisa ku mengerti. Matilah diriku.

✨✨✨

"Beneran langsung pergi? Apa gak capek?" Tanyaku padanya saat kami baru saja memasuki hotel, Kris mengangguk. "Yasudah, hati hati kalau begitu. Berdoa dulu, semoga syutingnya lancar dan gak ada halangan apapun." Walau begitu aku tetap mengiyakan.

Kris menghampiri ku, lalu mencium singkat keningku. Mataku membelak kaget, "iya."

Aku bahkan melupakan amarahku padanya beberapa jam yang lalu karena dia membuatku menjadi sangat asing diantara ribuan orang orang dibandara. Untung saja salah satu dari penjaganya menemuiku, kalau tidak aku bisa bisa aku tersesat, tidak pulang lagi ke Indonesia. Tetapi tetap saja, dia harus mendapat pelajaran.

"Siapa yang nyuruh kamu cium cium! Aku masih marah," cerutuku padanya, Kris menaiki salah satu alisnya.

"Lanjutkan saja marahmu selagi saya tidak ada," aku menatapnya kesal. Dia sungguh sungguh lelaki tanpa perasaan, bahkan untuk istrinya sendiri pun dia tidak mengerti.

"Terus siapa yang nemenin aku sendiri disini? Aku gak seberani itu lho tinggal sendiri di kamar sebesar ini, apalagi di tempat yang gak aku kenal kayak gini."

Kris baru saja ingin memasang sepatunya itu terhenti, "saya sudah suruh Bri untuk jaga kamu." Aku menghelas napas, Bri adalah salah satu penjaganya yang menyelamatkan ku dibandara tadi. Dia baik, dan ramah. Karena itu rasa takutku sedikit berkurang untuknya.

"Yaudah deh, dari pada kamu telat mending pergi sekarang." Aku mengakhiri perdebatan, Kris begini juga demi mencari uang, demi membayar segala keperluan yang kami butuhkan.

Setelah terdengar pintu tertutup, akhirnya lelaki itu benar benar pergi. Kesunyian melandaku, suara nafas pun terdengar sangking sunyinya kamar ini. Cepat cepat ku hidupkan televisi yang tersedia disini.

Entah mengapa tiba tiba perasaan ku tidak enak begini.

Semesta, tolong jangan buat perkara lagi.

//

Terimakasih sudah membaca

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang