Prolog

20.6K 691 95
                                    

Pagi itu mending menyelimuti langit ibu kota meski waktu telah menunjukkan pukul sebelas siang. Seorang laki-laki berusia delapan belas tahun memasuki ruangan bercat cokelat di depannya. Ia menarik napas panjang sebelum menarik pegangan pintu. Seperti apa yang terjadi dalam bayangan, tumpukan kertas segera mengenai wajah saat pintu terbuka. Lembaran-lembaran kertas dipenuhi huruf serta angka itu berterbangan sebelum menyentuh dingin lantai marmer putih.

"Masih berani berkeliaran setelah apa yang kamu lakukan?"

Pria paruh baya yang duduk di kursi menatap penuh kebencian. Jika saja melemparkan papan kaca yang berisi tulisan putih tebal itu dapat menyalurkan semua amarah, maka hal itu benar-benar akan terjadi. Persetan dengan reputasinya di kantor kejaksaan tinggi sebagai jaksa paling berprestasi akan hancur. Tanpa melakukan hal itu pun, harga diri yang dipertahankan susah payah akan tetap hilang.

Ruangan ayahnya ini kosong, sepertinya disengaja agar masalah pribadi ini tidak menyebar. Pria dengan setelan jas hitam itu bangkit dan menghampiri putranya, masih dengan amarah yang membuncah. Tama Narendra akan melakukan apa saja demi melindungi karirnya di bidang hukum yang memberikan kehidupan gemilang seperti sekarang. Aset kekayaannya bukan lagi bualan dan berkat itu hidupnya berubah, terlebih setelah istrinya tiada. Maka, memberikan pukulan untuk darah dagingnya yang akan menghancurkan apa yang ia miliki tidaklah sulit.

"Saya mengajarkan kamu untuk hidup sesuai perintah!" Tama menyerang pelipis anaknya hingga laki-laki tinggi itu tersungkur, kemudian menariknya untuk melakukan hal yang sama selama tiga kali. Terakhir, kepalan tangan tersebut menargetkan hidung hingga sang pemilik tubuh tak kuasa untuk bangkit.

"Maafin saya, saya janji akan mempertanggung jawabkan perbuatan itu."

"Kamu berharap karir saya berakhir?" Kali ini sepatu pantofel mengilat mendarat sempurna di pelipis laki-laki yang terbaring di lantai dengan wajah serta pakaian bersimbah darah. Injakan itu kian menguat seiring erangan sakit serta suara tangis. Rasanya tampak tak adil, sungguh. Ayah yang memilih karir daripada anaknya ini bak drama keluarga yang memilukan.

"Sidang pertama hari Senin, kamu harus diam di rumah sakit dengan keadaan paling menyedihkan." Tama mendudukkan putranya di kursi terdekat, rasa kemanusiaan masih tersisa dengan tidak membiarkan sosok penuh luka tersebut bercengkrama lebih lama dengan lantai dingin. "Kalau kamu tidak bisa menjadi apa yang saya harapkan, ikuti perintah saya."

"Saya akan bertanggung jawab dengan cara lain."

"Apa? Tidak ada yang bisa mengubah keadaan selain kamu yang kondisinya lebih parah dari dia!"

"Saya akan menghabiskan hidup saya untuk menjaga dia."

Tama tertawa sinis. "Lalu kamu akan tetap merusak hidup saya, begitu?"

Laki-laki itu menggeleng, meski air mata tetap menetes bersamaan dengan cairan merah pekat. Ia juga tidak meminta malam menyedihkan membawa petaka sebesar ini. Tidakkah cukup hanya dengan ibunya yang meninggal tepat setelah kekasihnya ketahuan berselingkuh? Mengapa dirinya harus kehilangan fokus dan terburu-buru mengemudi? Andai dapat kembali, hanya satu yang bisa diubah, yaitu segera menyerahkan diri dan membawa gadis itu ke rumah sakit secepatnya. Suara pintu terbuka membuat dia menoleh sejenak. Adiknya berdiri mematung di sana. Dia tidak bereaksi berlebihan, tetapi jelas ada jejak air mata di pipi. Entah sejak kapan dia mendengar semua yang terjadi.

"Tolong menangkan sidang dengan damai, saya siap tutup mulut dan menyerahkan hidup saya untuk gadis itu."

Ada jeda cukup lama dengan Tama yang menatap putra sulung serta bungsunya bergantian. Tidak mungkin kembali berdebat saat anak keduanya hadir di sini, terlebih dia masih duduk di bangku SMP. Ia berlalu dari sana dan menyempatkan diri untuk menyapa putra kesayangannya.

"Bang, Kiara nunggu lo di luar."

****

Welcome to the new version of AM. Thank you and see you.

Salam hormat,
rariss

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang