AM | 39

3.3K 174 1
                                    

Ujian tengah semester baru saja dimulai. Hal ini menandakan kelas akhir akan semakin sibuk. SMA Liberty membuat kebijakan bahwa semester dua digunakan untuk pengayaan serta praktikum dan persiapannya. Belum lagi acara tahunannya-pemotretan untuk yearbook, acara perpisahan, serta perjalanan bersama yang masih dalam tahap perbincangan. Tidak heran jika pembelajaran dipercepat semester ini. Jika tidak memungkinkan, dua bulan awal di semester selanjutnya digunakan sebagai tambahan.

Clarissa mendengkus setelah berkutat selama setengah jam dengan layar komputer yang menyakitkan mata. Di sampingnya ada Delmar yang terdiam dengan tangan menggulir mouse. Mereka tidak lagi menggunakan media kertas untuk ujian. Sekolahnya telah menambah fasilitas hingga khusus kelas dua belas, ujiannya di laboratorium komputer. Satu angkatan ini terdiri dari 16 kelas, dengan jurusan IPA dan IPS. Selama masa ujian kelasnya diacak dan dibagi dua sesi. Sungguh kebetulan lain Clarissa bisa kembali bersama tetangganya itu.

"Berisik!"

Clarissa berdecak. Delmar itu giliran sosiologi yang tidak memerlukan hitung-hitungan, sedangkan Clarissa fisika. Jelas saja ia akan berisik karena goresan pensil di kertas yang disediakan. Beberapa kali, terdengar helaan napas lelah gadis yang rambutnya diikat rendah itu. Fisika di pagi menjelang siang ini sangat menguras pikiran. Clarissa bahkan menarik simpul dasinya agar tidak terlalu mencekik beberapa waktu lalu. Ia merasa gerah dan Delmar sudah mengatakan hal yang sama ketiga kali. "Pindah aja sana," usirnya.

"Kalau bisa, udah dari kemarin-kemarin."

Delmar meringis pelan setelah sebuah pulpen mencoret tangannya. Clarissa yang duduk di sebelahnya menatap tajam. Lagi-lagi tetangganya berulah. Bisa dibilang, dua manusia itu sering meributkan hal remeh. Namun, terkadang peduli satu sama lain. Mereka telah hidup bertetanggaan sejak lima tahun lalu. Saat itu Delmar dan Clarissa masih duduk di kelas satu SMP, Naina masih sangat kecil. Clarissa awalnya mau berteman dengan baik, tetapi Delmar ternyata menyebalkan dengan kata-kata pedasnya agar tidak diganggu.

Waktu berjalan sangat cepat ternyata. Clarissa mencuri-curi pandang Delmar yang fokus membaca soal. Laki-laki itu sebenarnya cukup tampan dengan rahang tegas, alis tebal, hidung pas, dan kulit sawo matang. Meski suka merokok, bibir Delmar juga tidak menghitam. Jangan lupakan tubuhnya yang dijaga dengan baik. Tidak jarang beberapa gadis di sekolah ini mengajak berkencan. Namun, Clarissa tidak pernah sekali saja mempunyai perasaan untuknya. Bagi Clarissa, berpacaran dengan Delmar dapat merusak prinsip hidupnya. Ah, Delmar sendiri sudah berpacaran dengan Renata sedari kelas dua SMP.

"Udah puas liatinnya?" tanya Delmar seraya menatap balik Clarissa.

Clarissa mengalihkan pandangan. Ia berdeham untuk menyamarkan rasa malu. Masih ada sepuluh soal belum terjawab, tetapi pikirannya malah tertuju pada hal lain. Clarissa menggerakkan mouse dengan cepat dan memilih jawaban yang dirasa benar. Tangannya sibuk menuliskan beberapa rumus dan memasukan angka sesuai informasi. Pertanyaan Delmar dibiarkan tanpa jawab. Clarissa tidak ingin berurusan lagi dengan Delmar hari ini.

"Darrel baik sama lo?"

Pertanyaan itu jelas tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Clarissa menoleh dengan kerutan di dahi. "Kenapa?"

Delmar mengangkat bahu. Laki-laki itu menekan tombol selesai ujian dan langsung melihat hasilnya meski masih ada waktu dua puluh menit lagi. Clarissa masih saja menatap, berharap ada kata yang dirinya lontarkan.

"Delmar!"

Layar komputer yang menampilkan nama, nomor induk siswa, dan urutan absensi itu menemani angka sembilan puluh delapan yang terletak di bagian tengah. Delmar menggesernya sedikit agar Clarissa dapat melihatnya. Delmar tersenyum miring dengan alis terangkat. "Kalau lo suka cowok pinter, gue juga bisa," katanya.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang