AM | 8

5K 263 18
                                    

Suara mesin mobil yang berhenti beberapa saat lalu membuat Delmar segera melirik celah gerbang setinggi kepalanya itu. Sebuah taksi baru saja berhenti di seberang jalan—tepat di depan kediaman Clarissa. Tak lama kemudian, kendaraan itu pergi setelah meninggalkan Clarissa yang wajahnya terlihat tanpa semangat.

Delmar kembali mengalihkan pandangan pada benda elektronik di tangannya. Layar tersebut masih menyala dan samar terdengar helaan napas lelah seseorang. Panggilan dari orang itu masih tersambung hingga kini.

"Mar, Clarissa udah balik?"

Tangan Delmar terkepal erat. Jelas saja ada amarah yang berkuasa di hatinya. Delmar ingin memaki, tetapi ia cukup sadar diri. Hal tersebut bukan ranahnya untuk terlibat.

Delmar menempelkan ponsel ke telinganya lagi. "Dia baru aja balik, pake taksi."

"Thanks, Mar."

Delmar dengan cepat memutus sambungan telepon itu, tanpa peduli dengan Darrel yang akan bersuara lagi. Ucapan cowok itu kini hanya angin lalu yang tak tersampaikan.

Darrel menghela napas panjang sebelum menuangkan air putih dingin ke dalam gelas berukuran sedang. Ia meneguknya hingga hanya menyisakan seperempat bagiannya saja. Darrel kemudian menyimpan kembali gelas kaca yang sudah dipenuhi embun itu.

Cuaca di luar begitu terik, tetapi Darrel bak tak bisa merasakan bagaimana rasa sesungguhnya. Darrel seperti terpenjara oleh sesuatu tak kasatmata.

Iris Darrel berpendar pada sudut ruangan yang sudah dirindukannya selama belakangan ini. Jika biasanya dia akan berdiam diri menunggu sang mama memasak di ujung sana, kali ini telah berubah. Tak ada lagi sosok itu, bahkan penghuni rumah ini sudah mempunyai kehidupan masing-masing.

"Rel, itu jadwal les lo."

Darrel mengalihkan pandangan pada sosok laki-laki yang lebih tinggi darinya. Kemeja putih tapi serta celana bahan hitam melekat pas di tubuhnya. Tanpa kata, Darrel mengambil lembaran kertas yang diulurkan olehnya.

"Gue minta maaf." Aarav menatap Darrel lurus.

"Apa yang perlu gue maafin?"

Aarav ikut menuangkan air putih setelah mengambil gelas dari tempatnya. Keduanya sedang berdiri di depan pantry dengan tatapan lurus. "Kayaknya kita harus siap kedatangan anggota keluarga baru ... lagi."

Darrel enggan berlama-lama di sini. Ia menandaskan sisa air dalam gelas miliknya, lalu segera beranjak pergi. Ia terlalu malas harus merespons Aarav hari ini.

"Papa tahu lo pergi sama siapa tadi. Gue minta lo kurangi intensitas berhubungan sama dia."

Darrel menghentikan langkah ketika suara kakaknya menginterupsi. Pandangan yang semula tak bermakna, kini penuh pancaran kebencian. Tangan Darrel terkepal erat di samping tubuh, bahkan hingga kertas di tangannya menjadi kusut.

"Gue gak akan pernah terlibat sama dia, kalau aja gak ada orang bodoh yang menjerumuskan gue ke dalamnya." Darrel berbalik dan memandang Aarav dengan pandangan penuh kebencian itu.

"Darrel!"

"Kita sama-sama ikut andil dalam menghancurkan hidup seseorang!" Darrel berteriak kali ini. Seluruh beban di hatinya seakan melolong meminta disampaikan saat ini juga. "Gue sama lo, sama-sama bersalah di sini."

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang