Ujian akhir di tahun kedua masa putih abu Clarissa baru saja memasuki hari ketiga. Gadis dengan rambut tergerai bebas itu baru saja membalik lembar jawabannya dengan helaan napas panjang. Hampir dua jam berkutat dengan lima puluh butir soal biologi membuatnya merasa pening. Namun, belajar bersama Darrel semalam setidaknya dapat memperbaiki nilainya yang masih mengawang-awang, semoga saja.
Clarissa bersandar pada dinding di sampingnya. Ia menoleh dan segera mendapati wajah Delmar yang duduk di sampingnya. Sudah menjadi tradisi SMA Liberty, setiap ada ujian akhir semester, pasti siswa-siswinya tidak akan mengerjakan ujian di kelas masing-masing. Mereka akan dipilih secara acak dan ditempatkan oleh panitia. Jujur saja, terkadang banyak yang mengeluh karena tidak dapat saling bekerja sama dengan teman-temannya. Namun, itulah yang pihak sekolah harapkan—ujian yang bersih dari kecurangan sekecil apa pun.
"IPS susah, gak, sih?"
Delmar yang akan menggoreskan tinta pada lembar jawabannya menjadi urung. Ia mengangkat pandangan agar menyamai wajah Clarissa. "Tumben nanya."
Clarissa mendengkus. "Gue gak mau disangka sombong." Clarissa mengalihkan pandangan pada kertas di hadapan Delmar yang belum terisi semua. "Karena udah selesai di saat lo masih sisa sepuluh nomor lagi."
Angkuh, menyebalkan, sangat mirip sekali dengan kekasihnya. Delmar benar-benar jengah dengan tetangganya ini. Cowok itu meregangkan dasi yang terasa mencekik sebelum menuliskan beberapa huruf lagi di lembar jawabannya.
"Mar, Naina gak lo marahin lagi, 'kan?" tanya Clarissa yang kini sibuk mengamati pergerakan tangan Delmar. Entahlah, tak ada kegiatan lain yang dapat ia lakukan selain menjadikan Delmar teman berbincang lirihnya.
Delmar memilih bungkam. Ia harus menyelesaikan ujian akhirnya dengan maksimal, meski harus ia akui rasa malas untuk belajar masih sering hinggap. Ini semua demi Naina. Adiknya tak boleh diberikan contoh yang buruk, terlebih Naina sering mengungkit masalah nilainya yang hancur semester kemarin.
"Delmar, gue nanya sama lo."
Delmar masih sama bungkamnya, bahkan seperti menganggap Clarissa hanyalah angin lalu. Jika ditanggapi, Clarissa akan makin menjadi. Gadis itu mana bisa menyadari bahwa ia sedang tidak ingin diganggu. Delmar masih butuh waktu untuk memecahkan deretan soal terakhir.
"Kalau gue denger lo ribut-ribut lagi, awas aja."
Delmar menyimpan penanya ke dalam saku kemeja putih yang sedikit kusut. Ia meregangkan tangan sebelum menggenggam erat beberapa lembar kertas berisi soal serta jawaban ujian hari ini.
"Suara lo ganggu. Gue juga gak mau Naina minta gue jadi kakaknya mulu."
Clarissa ini sungguh memuakkan di mata Delmar. Selain suka sekali mencampuri urusannya, gadis itu juga berisik, terlalu banyak berbicara hal tidak penting.
Delmar memandang Clarissa yang balas menatapnya juga. "Urusi aja jawaban lo yang masih banyak salahnya."
"Tapi sayangnya, gue gak percaya sama lo."
Sekali lagi iris kelam milik Delmar menghunus bola mata Clarissa yang memandangnya dengan angkuh. "Udah seharusnya, lo gak boleh mudah percaya sama orang lain."
Usai berkata demikian, Delmar bangkit dari duduknya. Ia berjalan dengan wajah tanpa segaris senyuman. Sepasang sepatu converse itu melangkah tergesa menuju meja guru di depan sana. Delmar menjadi siswa kesekian yang meninggalkan ruang ujian sebelum waktu berakhir. Cowok itu juga pergi meninggalkan Clarissa yang terdiam seribu bahasa. Kini, dalam benaknya muncul pertanyaan baru. Apa maksud perkataan Delmar tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...