Rasa pegal menyerang punggung Clarissa ketika gadis itu membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah samar barisan bunga iris di luar sana. Selimut tebal sudah menyelimuti, meskipun hanya bantal sofa yang menjadi tumpuan kepala. Ah, semalam Clarissa ikut tertidur ketika mendengar napas Darrel yang mulai teratur.
Clarissa bangkit, berniat membereskan ruang tamu. Entah di mana keberadaan kekasihnya sekarang. Namun, suara nyaring dari benda yang membentur keras lantai membuat Clarissa terkejut. Dicarinya sumber suara berasal dan matanya seketika membulat. Sialan, bagaimana ini semua terjadi dengan mudahnya. Ponsel hitam berlogo apel tergigit itu kini bagian belakangnya tampak mengenaskan. Sudah lebih dari satu menit Clarissa memandangi benda yang tergeletak mengenaskan di lantai marmer kecokelatan. Jemarinya sempat mendekat untuk melihat bagian depan, tetapi bayang-bayang layarnya yang hancur membuat urung. Maaf, Darrel.
"Pecah, ya?"
Sudah dua kali Clarissa terkejut sepagi ini. Sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak pada gadis berpiyama merah muda itu. Ia segera tersenyum paksa ketika mendapati sang kekasih berdiri di sampingnya.
"Punya siapa?" tanya Darrel sekali lagi. Laki-laki itu tampak merogoh saku jaket serta celana miliknya. Dan selanjutnya adalah Clarissa yang menyerahkan benda yang kini sempurna rusaknya.
"Maaf."
Darrel mengambil benda yang Clarissa sodorkan. Ponselnya sudah benar-benar harus segera diganti. Helaan napas panjang terdengar sebelum Darrel memasukkan benda itu ke saku jaketnya. "Ayo."
"Ke mana? Lo gak marah?"
"Gue lemes banget, ayo sarapan dulu."
Jemari Clarissa ditarik oleh Darrel agar segera mengikuti. Tidak bisa berbohong lagi bahwa perut Darrel rasanya perih sekali. Semalam dia tidak sempat makan lagi dan hanya meminum sebotol air mineral ketika terbangun pukul dua dini hari. Untung saja Clarissa tidak terbangun, sepertinya karena terlalu lelah.
Darrel tersenyum kecil saat Clarissa menyuapkan potongan sandwich dengan kebisuan serta berusaha menghindari tatapannya. Darrel memang berniat mengganti ponsel, tetapi menunggu hingga edisi terbaru keluar. Jika harus sekarang, ya mungkin Darrel masih memerlukan beberapa waktu untuk menunggu. Sungguh, tidak ada masalah dengan hal itu. Hanya saja, Clarissa tampak menggemaskan dengan wajah yang masih kentara was-was. Jika biasanya akan berisik karena laki-laki itu melihat rambut berantakan serta wajah tanpa riasan, kali ini berbeda.
"Gimana makanannya?"
Clarissa masih bergeming, bahkan ketika Darrel menanyakan hal yang sama untuk kali kedua. Kekasihnya sungguh mengenaskan. Darrel mengelus rambut legam sepunggung itu hingga pemiliknya tersadar.
"Kenapa?" tanyanya.
"Lo yang kenapa?" Darrel menaikkan sebelah alis, bermaksud menggoda gadis resah itu.
"Mau gue ganti gak? Abis ini beli ayo."
Sekali lagi Darrel tersenyum. Ia mengacak rambut halus itu, lalu merapikannya. "Gak usah."
"Darrel, sumpah gue gak tau kalau handphone lo disimpen di sofa juga."
"Iya, Clar. Gue tau."
Clarissa menghujam Darrel dengan tatapan maut. Lama-lama kesal juga melihat senyuman di bibir Darrel. "Jangan-jangan udah rusak dari sebelumnya, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...