Hari ini, Darrel pulang lebih dulu dari sekolah dikarenakan suhu tubuhnya tinggi. Clarissa rasanya ingin memukul kepala kekasihnya itu karena memberi tahu bahwa ia sakit ketika sudah bergegas menuju parkiran.
Mereka berpapasan saat Clarissa kembali dari toilet bersama Aurora. Jika keduanya tidak bertemu, mungkin hingga pulang Clarissa tidak akan tahu Darrel sudah tidak di sekolah. Mungkin, laki-laki itu akan menghubungi Aurora dengan kata pedasnya untuk menyeret Clarissa pulang dan tidak pergi ke mana-mana lagi.
Rutinitas Clarissa selama lebih dari seminggu ini memang menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Katanya, rumah besar itu kian sunyi dimakan hening. Gadis itu tak jarang lebih sering membantu Darrel membersihkan apartemennya. Ralat, Clarissa hanya akan berbaring di sofa panjang ruang tengah lalu memakan camilan kemudian membiarkan beberapa terjatuh berserakan hingga Darrel harus mengomel. Seperti dua hari lalu.
Pagi buta Clarissa sudah memasang senyum terbaik dengan beberapa croissant dalam kotak. Jemarinya menekan bel, tetapi tak berselang lama segera menekan beberapa digit angka hingga pintu terbuka. Hanya formalitas saja sebagai bentuk kesopanannya.
Baru saja Clarissa berbalik dan bersiap meneriakkan nama sang kekasih. Namun, suaranya tidak berhasil keluar karena Darrel berjalan bertelanjang dada. Rupanya, memasuki rumah orang tanpa permisi itu memang tidak sopan sekali. Kaus hitam sudah tersampir di bahu meski sepasang matanya belum terbuka sepenuhnya.
"Darrel! Pake baju!" Meski terlambat, Clarissa berbalik.
Darrel tertawa pelan, lalu melemparkan kausnya tepat ke arah kepala Clarissa. Dia menjerit dan mengatakan bahwa mungkin saja kaus itu bekas kemarin. Masa bodoh.
"Keluar dulu sana! Gue mau mandi nanti gue bukain pintu."Clarissa tertawa saat mengingat hal itu. Darrel sungguh mengusirnya agar bertamu dengan benar. Hanya tiga menit waktu yang diperlukan gadis dengan rok denim selutut dipadukan kemeja oversize biru pudar itu untuk menunggu di depan pintu. Darrel segera membuka pintu dan menyodorkan sebuket iris ungu. Jika sudah begitu, mulut Clarissa yang sudah bersiap mengeluarkan kata mutiara menjadi urung kembali. Clarissa dan bunga iris masih memiliki ikatan yang kuat.
"Lo kerasukan penunggu sekolah?"
Keterlaluan sekali manusia yang merusak suasana hatinya ini. Delmar tidak tersenyum ketika Clarissa menatap ke arah laki-laki itu. Di antara lipatan bibirnya terdapat batang nikotin yang tidak dinyalakan. Berani sekali dia terang-terangan melakukan hal yang dilarang untuk anak seusianya di lingkungan sekolah.
"Mau rokok?" tanyanya.
"Lo jadi model iklan rokok apa gimana? Kalau mau nawarin minimal makanan atau nggak ngajak jalan." Clarissa memutar matanya. Kaki jenjang itu kini merangkai langkah selaras dengan lawan bicara yang hingga kini fokusnya tertuju ke depan.
"Lo mau?"
"Apa?"
"Jalan sama gue." Untuk kali pertama Delmar memandang Clarissa selama hampir lima menit mereka berjalan bersampingan.
"Sialan! Cowok gue masih lebih keren dari lo."
Clarissa mempercepat langkah, meninggalkan Delmar yang tak lagi menyimpan rokok di sela bibir. Clarissa melangkah memasuki taksi yang sudah ia pesan sebelumnya. Seperkian detik kemudian, kendaraan putih itu melaju bersama Delmar yang melempar, lalu menginjak batang nikotinnya hingga hancur di tanah. Ia menarik helm dari stang motor dan memakainya. Delmar juga meninggalkan sekolah ketika jarum pendek dan panjang pada jam tangannya berada di satu angka yang sama, lima.
****
Taksi putih yang ditumpanginya telah berlalu beberapa waktu lalu. Pandangan Clarissa tertuju pada ponsel yang menampilkan aplikasi perpesanannya dengan Darrel. Tidak ada balasan. Clarissa bersiap menekan tombol panggil kemudian meraih kunci pagar teralis hitam di depannya. Panggilan memang tersambung tetapi masih belum ada jawaban. Clarissa melangkah masuk setelah menutup kembali gerbang. Dia membuka pintu utama perlahan. Rumah ini sungguh sepi. Namun, saat melewati ruang tamu, terdengar suara langkah kaki mendekat.
Seseorang dengan sepiring penuh makanan datang menghampiri. Senyuman menghiasi bibir yang kentara pucat. Clarissa yang bersiap menghubungi kekasihnya mengurungkan niat, ia terpaku tanpa tahu harus bergegas memeluk atau mengabaikan saja. Ibunya dan rasa rindu. Tidak mudah untuk berusaha tak acuh akan semua yang terjadi.
"Mau makan sekarang?"
Satu air mata jatuh dari pelupuk mata. Hanya mendengar kalimat sederhana seperti itu saja efeknya sudah seperti ini. Lalu, bagaimana jika permasalahan di antara mereka akan menjadi pembahasan selanjutnya?
Hening menguasai seperkian detik setelahnya. Gadis berseragam putih abu itu perlahan mundur. Sedari awal dia memang seharusnya pergi menemui Darrel. Tatapan matanya masih bersitegang dengan genangan air mata di pelupuk mata orang yang melahirkannya. Rambutnya tampak berantakan. Wajah yang selalu ceria tampak layu. Tidak ada lagi goresan bedak maupun perona bibir di sana. Begitu menyayat hati.
"Mama?"
Liana mengangguk. Dia tersenyum, tetapi matanya menyiratkan luka. Dua hari lalu, suaminya mengatakan kebenaran di balik Darrel yang menatap sinis dirinya saat makan malam bersama di Bandung. Seperti yang ia duga, putrinya mendengar dan melihat apa yang terjadi sore itu. Pantas saja sikap Clarissa menjadi sedikit janggal. "Clarissa, maaf. Ternyata butuh bertahun-tahun buat kamu tahu tentang semuanya."
Pandangan Clarissa teralih segera teralih. Akhirnya ini terjadi juga. Entah dari mana ibunya mengetahui bahwa ia tahu apa yang terjadi antara orang tuanya. Namun, waktu tidak mampu membuat dirinya mengerti akan apa yang telah terjadi. Rasa kecewa akan kebohongan yang disimpan rapat selama belasan tahun masih menghantui. Clarissa tidak ingin menjadi anak durhaka karena tebersit kebencian di hatinya. Bukankah itu yang wajar ketika hal yang ia anggap benar ternyata hanya sandiwara semata?"Leta, maafin Mama." Isak menyusul tak lama setelah kalimat menyakitkan itu terdengar.
Hening beberapa saat. Kepalan tangan terbentuk sempurna di samping tubuh berbalut baju putih abu-abu itu. Tidak hanya ibunya yang ingin meraung, dirinya juga. Beban yang tidak kunjung berkurang begitu menyiksa. Dadanya bergemuruh, meminta agar rangkaian kata tajam menyeruak dengan lantang. Namun, tidak ada satupun yang dapat terucap.
"Mama tau ini pasti berat buat kamu." Liana mendekat, tetapi Clarissa kian mundur.
"Kalau Mama tau kenapa harus bohongin aku?" Mata yang menatap tajam wajah orang yang melahirkannya itu masih memerah, menahan tangis. "Mama pikir aku seneng sama perlakuan manis kalian selama ini? Nggak, Ma! Aku gak akan pernah seneng kalau tau kebenarannya dari awal!"
Liana kian terisak, pun Clarissa yang kini air matanya luruh juga. Meskipun sudah banyak mengeluarkan kata, dadanya tetap sesak. Seakan ada sesuatu yang menghimpit kuat. Jujur saja, kakinya melemas. Tidak ada cukup tenaga untuk berdiri lebih lama, hingga dia memutuskan untuk berlalu pergi. Tubuh rapuh itu dengan tergesa mencapai pintu. Namun, suara sang ibu menginterupsi ketika pegangan pintu sudah dalam genggaman.
"Mama cuma pengen kamu bahagia. Hidup dengan limpahan kasih sayang dari orang tua yang lengkap."
Clarissa tertawa sinis. "Seorang anak gak pernah bisa memilih orang tuanya, tapi kalian bisa menentukan pilihan itu." Clarissa menarik napas sejenak. "Jadi, apa pun yang udah Tuhan rencanakan buat aku, aku terima apa adanya selama itu kebenarannya."
Air mata Renata kian menderas kala punggung Clarissa menghilang sepenuhnya. Bunyi bantingan pintu bahkan teredam tangisnya. Dia hancur, tetapi putrinya lebih sakit lagi. Segala sesuatu yang diawali dengan dusta memang tidak pernah bertahan lama. Entah kini, esok, maupun beberapa tahun yang akan datang pasti terungkap juga. Tidak peduli semembahagiakan apa kebohongan itu.
****
Hallo, lama gak up. Aku usahain tiap Rabu malam, ya. Maaf kalau masih ada typo. Thank you.

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Novela JuvenilKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...