Terik mentari di pukul sepuluh hari ini tidak menjadi alasan untuk berteduh. Hampir seluruh siswa berada di lapangan utama, tepat di dekat panggung kokoh dengan dekorasi hitam dan warna emas. Seribu empat ratus lebih siswa membentuk formasi lingkaran. Tangan mereka saling bertaut satu sama lain dengan senyuman terulas masing-masing.
Seharusnya semua bergabung sesuai kelas, tetapi Darrel menarik tangan Clarissa untuk bergabung bersamanya. Sedari tadi, laki-laki dengan jaket denim hijau tua melapisi kemeja putihnya itu tidak melepas genggamannya dari sang kekasih. Dia bahkan mengabaikan tangan siswi teman sekelasnya yang berada di samping kanan. Darrel hanya peduli pada Clarissa saja.
Sesekali Clarissa menyeka keringat yang turun membasahi wajah. Tangan pucat itu beberapa kali berusaha menghalau cahaya mentari. Darrel menggeser posisi Clarissa agar berdiri sedikit di belakangnya. Terlihat sulit untuk menghalangi panas yang menyengat di menjelang siang ini. Namun, Darrel meraih sesuatu dari balik jaketnya. Topi berwarna hitam dengan tulisan 'Revolution Crew' tersebut dipasangkan di atas kepala Clarissa setelah membereskan rambut gadis itu.
"Masih panas gak?" Darrel memandang seseorang yang berdiri di sampingnya.
Clarissa menggeleng. Senyuman kecil terbit dari bibirnya. Hanya dengan hal seperti ini, dia merasa berharga di mata Darrel. Clarissa tahu bahwa topi ini memang hasil pinjaman dari Kendra kemarin, tetapi tetap saja yang memberikan itu padanya adalah Darrel.
"Kapan pun ngerasa gak kuat lagi, tarik aja tangan gue."
"Iya, Darrel. Gue bukan anak kecil lagi."
Darrel terkekeh, lalu tangannya bergerak untuk mengusap sebulir keringat yang baru saja jatuh ke pipi Clarissa. Dia menyesal membiarkan kulit putih itu lebih lama terpapar sinar matahari langsung hingga tampak sedikit memerah.
Sungguh, jika orang lain tidak sedang sibuk memperebutkan smoke bomb, mungkin Clarissa akan malu luar biasa. Tidak lama sebelum Darrel memasangkan topi, mereka memang diharuskan mengambil satu alat penghasil asap warna-warni tersebut.
"Nih," kata Darrel seraya mengulurkan benda yang diperebutkan oleh banyak siswa di sana, meski jumlahnya sudah disesuaikan.
Clarissa mengernyitkan dahi. "Kapan lo ngambilnya?"
Darrel berdecak sebelum mengambil kantung kresek kecil dari dalam saku celana putih abu-abunya. Dia meraih tangan Clarissa, kemudian memberikan benda itu.
"Ini?" Clarissa terpaku menatap beberapa buah smoke bomb yang Darrel berikan.
"Kurang kerjaan banget gue harus desak-desakan di sana. Sesuai perkataan lo, dompet gue tebal." Darrel memperbaiki letak jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
Clarissa menginjak kaki Darrel yang terbalut sepatu sneakers berwarna abu-abu. Sayang sekali sepatu mereka kini berbeda warna, yang Clarissa gunakan hari ini adalah warna putih.
"Lo, kok, jadi ngeselin?"
Darrel akan kembali berkata, tetapi perintah dari pengeras suara agar murid-murid kembali ke tempat masing-masing sedikit menghalanginya. Darrel memilih bungkam saja karena merasa percuma juga akan bersuara. Lagu Time of Your Life milik Green Day feat Good Riddance mengalun memenuhi lapangan setelah kepala sekolah memberikan beberapa kalimat pembuka, entah untuk yang akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi atau yang akan mendiami kelas yang baru.
Sejenak, Clarissa memandang wajah Darrel dari samping. Setiap lirik lagu yang terdengar seolah menuntunnya untuk menatap laki-laki itu. Darrel adalah waktu paling berharga untuk Clarissa. Keraguan dan ketakutan yang selalu hadir tidak membuat dia kalah. Darrel selalu datang mengulurkan tangan, memberinya penopang, seperti saat di mana awal pertemuan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...