Ruangan yang dilapisi cermin sepenuhnya itu diisi oleh suara ketukan sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai marmer berwarna krem. Lima orang yang menjadi perwakilan kelas 11 IPA 3 sedang melakukan latihan akhir, sebelum gladi bersih mereka yang akan berlangsung setengah jam lagi. Sebenarnya kegiatan itu sudah dimulai sedari pukul sembilan tadi, tetapi Aurora dan teman-temannya memilih kembali berlatih.
Aurora bergerak memutar, seirama dengan keempat temannya. Mereka kini memakai atasan kaus putih pendek yang dipadukan celana training hitam. Perasaan semuanya berkecamuk. Gugup, segan, dan malu menyerang sekarang. Pergerakan jarum jam terasa cepat sekali, seakan membiarkan mereka segera menaiki panggung yang berdiri megah. Ini belum apa-apa seharusnya, besok tentu lebih menegangkan lagi.
"Gue malah malu ini. Gimana dong?" Aurora bersuara ketika semua gerakan mereka telah usai, beriringan dengan sebuah lagu yang akan mereka gunakan nanti.
"Tinggal lima belas menit lagi, kelas sebelah udah di atas panggung, tuh."
Clarissa mengangguk. Dia mengalihkan pandangan yang semula tertuju pada ponsel. Clarissa bertugas untuk merekam latihan mereka tadi. Hal ini sempat menjadi perdebatan sengit. Clarissa menolak direpotkan dan Aurora serta temannya yang lain memaksa, bahkan tak segan akan menyita ponsel Clarissa jika gadis itu menolak.
"Lo semua udah bagus, cuma rasa percaya dirinya masih kurang."
"Clar, lo gak ngerti gimana rasanya ini."
Clarissa mendengkus. Gadis itu menyerahkan ponsel milik Aurora yang menampilkan video dance yang tadi ia rekam. "Liat, tuh. Mau kayak gimana lagi emangnya?"
"Clarissa!" Aurora memekik.
Clarissa yang baru saja akan melangkah menuju pintu keluar menjadi urung. "Ada apa lagi, sih?"
"Lo kenapa video dari belakang aja?"
Bolehkah jika Clarissa mengumpat sekarang? Sudah jelas bukan bahwa di setiap sudut ruangan ini dipenuhi oleh cermin. Siapa pun yang bergerak, akan terlihat oleh dirinya sendiri. Apa mata Aurora terlalu buta untuk melihat gerakan tubuhnya sendiri?
"Aurora, seharusnya lo bisa liat di cermin itu gerakan kalian gimana. Gue cuma ngerekam dari sana karena males gerak banget. Paham?" Senyuman terpaksa terulas di bibir tipis Clarissa.
Aurora kembali akan membuka mulutnya, tetapi Clarissa memilih untuk segera berlari keluar. Persetan lagi dengan Aurora san teman sekelasnya. Dirinya sudah sering direpotkan, sudah cukup.
Ketika pintu terbuka, suara lagu mengalun nyaring dari tengah lapangan. Gladi bersih masih belum selesai, meskipun sudah berjalan lebih dari dua jam. Setiap angkatan, terdiri dari empat ratus sembilan puluh enam orang siswa yang dibagi menjadi enam belas kelas. Setiap kelasnya sendiri dihuni oleh tiga puluh satu siswa. Kelas akhir tidak dilibatkan dalam acara pentas seni, mereka hanya akan mengikuti acara perpisahan secara terpisah sepekan lagi.
Jantung Clarissa terasa mencelos ketika akan menutup pintu malah ada seseorang yang mendahului dari belakangnya. Sebuah lengan kokoh dengan beberapa urat tangannya tampak menonjol disertai warna biru kehijauan. Gadis itu berbalik dan segera bertemu dengan iris kelam Darrel. Dia mengerjap pelan karena jarak mereka hanya terpaut dua langkah saja.
"Gue nunggu lebih dari setengah jam," kata Darrel.
Clarissa berdeham untuk menghilangkan rasa terkejut juga gugupnya. Entahlah, setelah mereka berbaikan kembali, Clarissa menjadi gampang sekali canggung. "Lo nunggu di sini?"
Darrel mengangguk. Ia mengulurkan tangannya untuk membereskan anak rambut Clarissa yang berantakan. Rambut tergerai bebas itu sedikit berantakan, entah karena tersipu angin atau melakukan sesuatu di dalam ruangan ekstrakurikuler dance itu. "Mau pulang sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...