AM | 35

3.3K 164 7
                                    

Jemari Clarissa mengambil botol shampo berwarna hijau, tetapi tak lama dikembalikan. Mengambil botol lain, selang beberapa detik disimpan kembali. Kegiatannya berlangsung sama berulang kali. Wajah gadis dengan seragam putih abu lengkap itu tampak keruh hanya karena varian dari brand andalannya sedang kosong. Antara memilih atau tetap menunggu, Clarissa tidak tahu. Dia pusing hanya karena shampo mana yang bisa dirinya gunakan sementara waktu.

"Susah banget pilihnya?"

Bukan jawaban yang Darrel dapatkan. Laki-laki itu tersenyum saja ketika Clarissa berjalan menjauh. Ia mendorong troli dengan perlahan karena kekasihnya yang berjalan lebih dulu selalu ceroboh, terlebih tangannya masih menggenggam ponsel. Iya, ini bukan kali pertama Darrel menemani Clarissa berbelanja hingga dirinya sudah teramat hapal dengan perilaku anehnya. Terakhir kali, Darrel harus mengganti sebotol kecap yang hancur karena tertabrak oleh Clarissa.

Maka dari itu, Darrel memilih untuk cari aman. Dia menjaga jarak keduanya tetap dekat, tetapi tidak terlalu dekat juga. Sesekali Clarissa hampir menabrak rak karena fokusnya pada benda dalam genggaman. Darrel menarik kepala gadis itu yang menyebabkan sang pemilik menatap sinis. Namun, tak urung melakukan kegiatannya lagi.

Darrel melakukannya beberapa kali,
hingga Clarissa berbalik sekarang. Bibirnya tanpa senyuman dengan tatapan bersiap menerkam. "Lo kenapa, sih?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah.

"Makanya hati-hati." Darrel menggenggam tangan Clarissa yang tentu saja mendapat penolakan. Keduanya berjalan berdampingan dengan sebelah tangan Darrel mendorong troli dan menggandeng gadis itu. Saat melewati freezer berisi sayuran, pantulan mereka sangat jelas. Darrel menghentikan rangkaian langkah mereka. "Liat, kalau lo senyum orang-orang pasti iri sama kita."

Clarissa melakukan hal yang sama. Tinggi mereka yang terpaut empat belas sentimeter sangat pas ketika dilihat seperti ini. Sebelah tangannya dalam genggaman sang kekasih dan dia yang memegang ponsel. Laki-laki di sampingnya mendorong troli. Tampak seperti pasangan baru menikah yang sedang berbelanja kebutuhan rumah tangga, bedanya mereka menggunakan seragam putih abu. Sial! Membayangkan hal aneh-aneh tidak baik untuk hatinya. Darrel benar-benar membuatnya kesal. "Mau beli sayur gak?" Clarissa jelas perlu mengubah topik pembicaraan.

"Emang bisa masak?"

Genggaman tangan kedua manusia itu dilepas paksa oleh salah satunya. Clarissa berdecak, lalu melangkah tergesa. "Drive thru aja, udah. Persetan sama lo yang baru sembuh."

Punggung bertas hijau toska melambai-lambai itu hilang di pandangan ketika berbelok di sela rak. Darrel tersenyum entah untuk kali keberapa hari ini. Ia menyusul kemudian. Setia mengikuti ke mana Clarissa pergi dengan kerusuhannya memilih barang-barang yang gadis itu gunakan. Terkadang berputar dulu, lalu kembali ke tempat semula untuk mengambil benda yang tadi sempat disentuh. Clarissa juga tidak jarang menanyakan pendapat Darrel jika kebingungan memilih varian apa yang cocok untuknya.

Clarissa memandang Darrel dengan dua lilin aromaterapi di tangan. "Mending yang kuning atau ungu?"

"Ungu lavender, ya?" Darrel berpikir sejenak setelah mendapat anggukan Clarissa. "Lo suka?" tanyanya lagi.

"Lumayan, mau nyoba juga." Clarissa berjalan lebih dulu lagi dan kembali melihat-lihat.

Darrel bersyukur, setidaknya Clarissa bukan perempuan yang menanyakan pendapat kekasihnya tapi tidak menganggapnya sama sekali. Clarissa selalu seperti itu, kecuali dalam urusan bunga iris. Namun, apa pun yang Darrel beri, pasti Clarissa terima dengan senang hati. Kurang beruntung bagaimana lagi laki-laki itu memiliki Clarissa dalam hidupnya.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang