Semesta pasti mengira bahu Clarissa sangat kokoh. Tuhan seakan menginginkannya untuk dapat menaklukkan terjangan badai dengan begitu mudah, seperti gugusan batu karang di bibir pantai. Namun, Clarissa tidak begitu. Ia dapat terluka hanya karena satu masalah yang datang.
"Kenapa?" Butuh waktu serta keberanian yang cukup untuk Clarissa bersuara.
Bukan jawaban yang Clarissa dapat, melainkan sebuah dekap. Usapan lembut di kepalanya membuat air mata yang sempat berhenti menetes luruh kembali. "Kenapa Tuhan jahat sama gue?"
Darrel menggeleng. Lingkaran tangannya semakin erat. Kini ia mengerti mengapa Tuhan membiarkan mereka saling terlibat. Darrel sadar bahwa kehadirannya untuk membawa Clarissa pergi dari kegelapan. Tuhan selalu punya cara untuk membuat seseorang bertahan akan hidupnya.
"Tuhan itu adil dalam menciptakan semua makhluknya." Darrel berkata setelah memastikan isakan dari seseorang dalam pelukannya sudah tak terdengar. "Lo boleh nangis, lo boleh marah, tapi dalam porsi secukupnya."
Clarissa beruntung sekali karena memiliki Darrel di sisinya. Laki-laki itu tidak mengeluh bahkan setelah memutari Bandung hingga petang menjelang. Dia juga juga tidak berbicara karena Clarissa yang membisu dan sesekali terisak pelan selama perjalanan. Mereka berkendara tanpa tujuan dan Darrel tidak sekalipun menginterupsi lamunannya.
Sebelum melepaskan tubuh dari lingkaran lengan Darrel, Clarissa menengadah untuk melihat wajah sang kekasih. Sebuah senyuman kecil terlukis di sana. Ia sungguh merindukan wajah itu. Kulit pipinya yang pucat masih menjadi candu Clarissa.
Darrel membalas tatapan Clarissa dengan tangan yang masih mengurung tubuh ramping sang kekasih. Ia sama sekali tidak berniat melepaskan dekapan mereka meski keduanya mulai berjarak. "Mau makan nasi goreng?"
Darrel memasangkan sabuk pengaman untuk Clarissa setelah mendapat anggukan gadis itu. Ia memperbaiki posisi duduk dan melakukan hal serupa setelahnya. Namun sebelum itu, Darrel mengelus puncak kepala Clarissa. "Gue di sini, kalau lo butuh."
Di sini sepi. Lampu yang menjadi penerangan jalan rimbun ini berada jauh dari posisi mereka. Rona yang hadir di pipi Clarissa setidaknya tak tampak jelas di mata Darrel. Ia sangat bersyukur. Clarissa tersenyum kecil sebagai balasan atas ucapan Darrel dan menyuruh laki-laki itu untuk segera menarik perseneling.
Hening yang terbentuk, membuat pikiran keduanya melanglang buana. Clarissa yang masih terpaku pada kejadian siang tadi mulai merasa lelah. Darrel pun tak jauh berbeda, tetapi ia harus fokus mengemudi. Meski Darrel bimbang harus bagaimana, laki-laki itu akan tetap bersama Clarissa, apapun yang terjadi. Darrel akan melindungi gadis yang kini sudah memejamkan mata di sampingnya.
Darrel menghela napas berat kemudian menarik kepala yang terantuk pintu mobil itu agar bersandar di bahunya. Ia menatap jemari yang punggung tangannya dipasangi plester. Bekas jarum infus tersebut tampak menyakitkan. Darrel tak tahu sudah berapa kali tangan rapuh ini terluka karena benda yang sama. Darrel tak sanggup untuk sekadar membayangkan ketika Clarissa merasakan sakitnya.
Deru napas Clarissa tampak teratur kini, Darrel menatap wajah yang sebagiannya tertutup rambut. Lengan kiri yang tidak memegang kemudi bertaut bersama milik sang kekasih. Genggaman Darrel mengerat seiring laju mobil yang mulai memasuki jalan raya. Ia berkata dengan lirih setelah memandang tautan tangan mereka sekilas. "Clarissa, ayo kita mulai dari awal."
****
Clarissa mengerjapkan mata ketika rasa pegal mulai menjalari leher dan punggung. Ia menggeliat pelan hingga dapat merasakan keberadaan seseorang yang memeluk erat tubuhnya. Jelas saja Clarissa terkejut. Entah sudah berapa lama mereka dalam posisi ini. Clarissa menengadah, Guratan lelah membingkai wajah Darrel. Clarissa kini menyadari rambut-rambut halus di sekitar dagu laki-laki itu mulai tumbuh. Apakah Darrel menjalani kehidupannya dengan baik?
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...