AM | 33

3.4K 183 6
                                    

Rasa gelisah masih menyelimuti Clarissa. Sepasang sandal bulu cokelat muda mengetuk-ngetuk lantai tak beraturan. Gadis itu berjalan mendekati kaca pembatas balkon kamar, berharap mobil hitam tak segera menghampiri. Sungguh, Clarissa menginginkan Darrel untuk menemani hingga kembali terlelap, tetapi mengapa nada suara laki-laki saat mengatakan namanya tidak seperti biasa. Darrel akan memanggilnya 'Clar' atau 'Clarissa' saja jika merasa kesal. Clarissa merapatkan kedua tangan. Tuhan, semoga Darrel tidak marah padanya.

Ah, perihal ponsel yang rusak beberapa waktu lalu juga masih sering membuat Clarissa agak khawatir. Laki-laki itu membeli sendiri dengan alasan kalau dirinya yang membayar, gadis itu tidak akan pernah mendapatkan bunga iris lain. Clarissa yakin jika Darrel belum tidur. Selama beberapa minggu mereka bersama, kekasihnya juga terkadang kesulitan tidur atau terbangun tepat tengah malam. Entah penyakit itu menular maupun karena kebiasaan.

Berselang lima menit, terdengar suara mesin mobil berhenti di bawah sana. Mobil hitam yang selalu ia naiki itu kini berhenti di depan gerbang. Sang pengemudi turun dan membuka kunci gerbang, lalu membawa kendaraannya masuk setelah rangkaian besi setinggi tubuhnya itu terbuka lebar. Jika begini, mau tak mau Clarissa beranjak ke ruang tamu.

Lampu lantai satu mati, Clarissa merangkai langkah perlahan. Iris gadis itu fokus mengintai sosok Darrel yang entah dimana sekarang. Satu persatu anak tangga berhasil dilewati, semakin jelas rasa was-was gadis berpiyama biru tua itu. "Darrel?" panggilnya.

Seperkian detik selanjutnya, lampu ruang tamu menyala. Clarissa menutup mata karena terkejut dengan cahaya yang tiba-tiba. Ketika membuka mata, sosok Darrel bersandar di tembok dekat saklar lampu. Clarissa menarik bibirnya membuat sebuah lengkungan. Sial! Ini canggung sekali karena Darrel hanya diam menatap.

Clarissa tidak berani berjalan mendekat. Ia menuruni anak tangga terakhir hingga jarak mereka hanya terpaut satu meter. Clarissa tidak bisa melupakan bagaimana sikap Darrel pada orang asing, bahkan pada sahabatnya sekalipun. Iya, dia yang suka diam saja saat ada yang menyapa maupun bertanya, jika menurutnya hal itu kurang penting. Siapapun enggan berinteraksi dengan Darrek karena alasan tersebut. Terlalu angkuh. Namun, jika berbuat salah, siapa pun ingin segera meminta maaf hanya dengan melihat ekspresi wajahnya saja.

"Darrel, maaf." Clarissa berlutut dengan gerakan secepat kilat. Kedua tangannya bertaut bak orang yang memohon ampun. Masa bodoh dengan Darrel yang akan mengatakannya berlebihan. Siapa yang tidak takut jika memang merasa membuat kesalahan. Sungguh, Darrel terdiam tapi seperti mengatakan berbagai umpatan menggunakan matanya yang menghunus tajam hingga Clarissa tidak berani mengangkat pandangan.

Darrel menggigit bibir bagian dalamnya. Melihat Clarissa seperti itu sangat jarang sekali. Jika mencoba untuk berkata, maka ia akan tertawa lepas. Kekasihnya harus bertanggung jawab karena pipinya pegal. Laki-laki berkaus putih bertuliskan Deus tersebut berjalan mendekati Clarissa yang masih pada posisi yang sama. Di tangan kanannya terdapat paper bag berisi makalah yang sudah tersampul rapi. Darrel menyerah benda di tangannya sesaat setelah menarik Clarissa untuk berdiri.

"Lo sejak kapan ikut sekte sesat sampe nyembah manusia begitu?"

"Darrel!" Clarissa memukul bahu Darrel hingga laki-laki itu meringis keras. Persetan dengan penderitaannya. "Lo bikin gue takut tau."

Bukan sofa ruang tamu tujuan langkah Clarissa saat ini. Ia bergegas menuju dapur untuk mengambil sebotol dari dalam lemari pendingin, setelah menyimpan paper bag pemberian Darrel di meja dekat undakan tangga. Tangannya terulur untuk mengambil salah satu dari tiga botol berukuran sedang, tetapi didahului oleh tangan lain. Darrel berdiri tegak setelah mengambil air minumnya kemudian meneguk hingga tersisa setengah.

"Jangan minum air dingin jam segini."

Mau tak mau, Clarissa menurut. Gadis itu berjalan mengambil botol air lain yang tersimpan di lemari panjang, tepat di atas kompor. Bibirnya masih mencebik kesal seraya memperhatikan Darrel yang tersenyum ke arahnya. Ah, Clarissa lupa belum membuka barang pemberian Darrel tadi. Dengan cepat, dia berbalik guna menutup kembali lemari yang pintunya belum tertutup sempurna.

Seseorang memeluk pinggangnya dari belakang. Clarissa membeku. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun, tubuhnya tidak bisa menolak hal ini terjadi. Ada getaran aneh di perut Clarissa ketika embusan napas Darrel mengenai lehernya, seakan tak ada lagi kekuatan yang mampu menopang tubuh hingga kini Clarissa kesulitan berdiri.

"Rel, lepas."

Darrel semakin mengeratkan pelukannya. Ia kini menyimpan kepalanya di lekukan leher Clarissa hingga tanpa sadar membuat gadis itu berpegangan pada meja keramik di depannya. Sial! Jika begini terus, Clarissa tidak sanggup berdiri lebih lama. Selain detak jantung yang menggila, dirinya takut berada sedekat ini dengan kekasihnya. Wajar, bukan? Dalam hubungan selama setahun lebih lamanya, yang terjadi kini baru kali pertamanya terjadi.

"Gue ngantuk, Clar."

Suara rendah nan dalamnya membuat Clarissa membeku. Telinganya berdengung ketika mendengar Darrel berbicara karena jaraknya yang dekat sekali. Clarissa benar-benar tidak akan bisa bertahan lama seperti ini. Sungguh, dia ingin melarikan diri ke kamarnya.

Dengan sekuat tenaga, kedua tangan ringkih itu mendorong tubuh Darrel agar menjauh. Hal itu tentu gagal karena Darrel masih memeluknya dengan posisi saling berhadapan. Kini tak ada jarak tersisa kala Darrel sedikit merendahkan tubuh. Satu jengkal saja Clarissa bergerak, maka bibirnya akan bertemu bibir Darrel. Mata kecokelatan teduh itu kini menatap dengan gurat lelah.

"Lo udah buka paper bag yang tadi?"

Clarissa kian gugup ketika Darrel mengeratkan kembali dekapannya. Tubuh Clarissa kian terhimpit seiring ia yang mundur tanpa sadar. Tangan kanan itu kini menyusuri wajah, dimulai dari rambut, hidung, dagu, dan berakhir di bibir. Napas Clarissa memburu kala Darrel mengelus perlahan bagian itu. "G-gue be-belum buka."

Darrel memejamkan mata, lalu menarik tubuhnya untuk menjauh. Ia memberi ruang untuk Clarissa agar dapat bernapas dengan benar. Wajah gadis itu tampak merah sekali kini. Lampu dapur yang sedikit redup tidak bisa menyamarkan bagaimana terkejutnya gadis itu. Jantung Darrel seirama dengan gadis itu sebenernya, tapi wajahnya terlalu tenang untuk tidak menunjukkan secara gamblang.

Clarissa menggigit bibir bawahnya. Ia merasa sedikit tenang karena Darrel menjauh sekarang. Hanya tersisa satu tangan saja yang masih mengukung pinggang rampingnya. Laki-laki itu kini juga tidak menatapnya seperti tadi, bahkan dia kini mengalihkan pandangan.

Namun, berselang semenit kemudian Darrel mendekat kembali dan mengecup pipinya sekilas. Dia juga mengacak rambut Clarissa. Memperbaiki tatanannya kembali, lalu melangkah pergi. Laki-laki itu akan pulang, seperti ucapannya sebelum berbalik. Dia meninggalkan tanda tanya besar serta sepasang iris legam yang menatap punggung tegap sang kekasih dengan debaran menggila yang masih tersisa.

"Clar, can I love you today, tomorrow, and the day after tomorrow?" Darrel tersenyum, meski di matanya tersirat kesedihan. "I'm back now. You must sleep again."

****

See you on Thursday. Thank you for your love.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang