Ruangan besar yang didominasi warna krem dipenuhi oleh aroma mentega yang kuat. Suara benda stainless jatuh terdengar nyaring di tengah hening. Clarissa meringis pelan. Ia tidak sengaja menjatuhkan mangkuk berisi margarin. Dia tersenyum karena Darrel menatapnya datar. Entah sudah berapa banyak benda yang gadis itu hancurkan, bahkan mereka berkutat di dapur rumah Clarissa baru sekitar lima belas menit.
Selai coklat sudah tumpah beberapa menit lalu, belum lagi sendok yang berserakan di lantai karena saat Clarissa mengambil satu lengan bajunya tersangkut tempat alat makan tersebut. Darrel harus membereskan semua kekacauan itu pada akhirnya. Namun, aroma sesuatu yang gosong membuat laki-laki itu dengan cepat meraih sendok dan mematikan kompor. Pusing sekali memasak bersama Clarissa yang ceroboh dan tidak mengenal dapur. Mungkin dia terlalu memanjakan kekasihnya.
"Maaf, gak sengaja." Clarissa tersenyum manis.
Darrel hanya bisa pasrah. Ia mengambil satu persatu sendok yang berserakan di lantai, lalu mengambil mangkuk stainles yang menteganya sudah raib. Lantai dapur benar-benar hancur sekarang, padahal mereka hanya berniat membuat roti bakar. Jika memasak nasi dan lauk-pauk sepertinya satu rumah yang menjadi korban. Sungguh bukan hal yang perlu dicoba.
"Diem dulu, ya, bentar aja." Darrel menatap Clarissa dengan tatapan tajam ketika gadis itu berniat mengambil roti tawar lain.
Clarissa merentangkan tangan setelah melemparkan spatula ke atas tumpukan cucian di wastafel. "Gendong," pintanya.
Sendok terakhir yang Darrel ambil mungkin akan berpindah menuju dahi gadis berpiyama putih itu jika Darrel cukup berani. Namun, sayangnya ia tidak akan pernah sanggup melakukan hal itu. Laki-laki dengan kaus putih polos tersebut berjalan mendekati Clarissa yang masih melakukan yang sama. Jarak mereka kian terkikis karena Darrel tidak mau berhenti.
Napas keduanya saling menyapa wajah. Clarissa perlahan menurunkan tangannya. Bukan ini yang dia inginkan. Sungguh. Kilas balik ketika Darrel mengecupnya malam itu kembali menyeruak. Sial! Pipi gadis yang belum tersentuh bedak sama sekali tersebut merona seketika. Mbak Eka belum kembali dari pasar dan hanya mereka penghuni rumah besar ini. Mata Clarissa terpejam seiring tangan Darrel yang terangkat.
Wajah Clarissa memerah sempurna tatkala Darrel mundur setelah mengambil pisau dari balik tubuhnya. Laki-laki itu berbalik ke arah lemari pendingin di samping tangga, lalu kembali tak lama kemudian dengan dua buah apel di tangan. Debaran jantung Clarissa belum normal kembali. Rasa panas menguasai meski di luar tampak mendung dan pendinginan ruangan berada dalam suhu normal.
"Bisa kupas ini?" tanya Darrel.
Clarissa tersadar. Dengan segera ia mengambil apel di tangan Darrel dan bergegas menuju wastafel untuk mencuci buah tersebut. Setelahnya ia mengambil pisau yang Darrel sodorkan. Tanpa kata dan melihat wajah sang kekasih. Tentu saja ia malu akan tindakannya tadi. Mengapa juga pikirannya menjadi kotor seperti ini? Ah, Clarissa bukan perempuan yang isi otaknya hanya hal-hal begitu, sungguh.
Darrel memerhatikan Clarissa yang membelakanginya. Senyuman terbentuk sempurna di bibir itu. Clarissa tampak menggemaskan sekarang. Ia tahu hal tadi akan membingungkan. Namun, lebih baik seperti ini sebenarnya. Darrel takut akan melewati batas karena ia tetap laki-laki normal dan kekasihnya tampak memesona tanpa riasan maupun pakaian yang lebih baik.
"Tangannya awas keiris!"
Masa bodoh. Clarissa mempercepat pergerakan pisaunya agar dua apel merah menyebalkan ini dapat segera dipotong. Jujur saja Clarissa butuh pelampiasan rasa kesalnya. Berselang dua menit, buah apel sudah kehilangan kulitnya. Clarissa ingin menoleh dan bertanya pada Darrel, tetapi rasanya punggung gadis itu sudah berlubang karena tatapan Darrel yang tidak beralih. Sesekali suara tawa samar terdengar.

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Ficção AdolescenteKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...