****
Ketika Clarissa mengerjapkan mata, kegelapan langsung menyapa. Tubuhnya terasa pegal, tetapi ini jauh lebih baik daripada pagi tadi. Clarissa menekan saklar lampu di samping nakas. Entah berapa jam ia terlelap setelah minum obat.
Clarissa mendudukkan diri setelah menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya. Rasa pening di kepalanya tak sehebat beberapa jam lalu. Iris cokelat terang itu menyusur ruangan bernuansa putih tulang yang ditempatinya hampir delapan tahun. Guliran mata Clarissa terhenti pada sosok yang duduk di atas karpet berbulu tebal dengan kepala diletakkan di atas meja. Entah Darrel tertidur atau tidak, Clarissa tak tahu.
Sepulang dari sekolah, Darrel memaksanya untuk pergi ke rumah sakit dengan berbagai ancaman. Clarissa jelas menolak, Darrel pun tak gentar memaksa. Akhirnya, Clarissa mau diperiksa oleh dokter asalkan Darrel membelikannya bunga iris lagi.
Senyuman tipis terlukis di bibir Clarissa yang masih pucat. Gadis itu bangkit, lalu melangkah perlahan ke arah Darrel. Wajahnya memang terhalangi oleh lengan. Namun, Clarissa masih dapat melihat dahi mulusnya.
Clarissa mendudukkan diri di samping Darrel, ikut bergabung di karpet biru tua berukuran sedang ini. Di atas meja, berserakan kertas-kertas, entah yang masih kosong atau sudah terdapat beberapa goresan tinta. Clarissa mengalihkan pandangan ke arah rambut Darrel yang berantakan.
Hubungan mereka memang berjalan sudah berjalan lama, tetapi jarang bagi Clarissa mendapatkan kesempatan untuk melihat Darrel sedekat ini. Darrel di matanya seperti tak mempunyai rasa lelah. Ketika ia terbangun di tengah malam, kapan pun Darrel selalu ada, bahkan tanpa diminta. Clarissa akui, belakangan ini Darrel memang disibukkan dengan urusan pendidikannya. Clarissa tak bisa menolak, karena dirinya sadar bahwa perhatian Darrel tak pernah berkurang, meski terkadang hanya barang yang dititipkan cowok itu.
Apa Clarissa bahagia? Jawabannya sudah pasti iya. Namun, terkadang ada celah di mana hatinya merasa tidak baik-baik saja. Jika memandang wajah Darrel lekat seperti ini, Clarissa merasa menjadi beban untuknya. Darrel pulang lebih dulu dari sekolah, dan meninggalkan penelitiannya yang belum usai. Semalam juga Clarissa bertukar kabar dengan Darrel hingga waktu menyentuh pukul tiga pagi. Clarissa tak tahu apakah Darrel memiliki cukup waktu untuk tidur.
Clarissa ikut menelungkupkan tangan di atas meja. Pandangannya masih tertuju pada sosok Darrel. Berada berdekatan dengannya membuat Clarissa nyaman, terlebih wangi tubuhnya.
Darrel itu sangat menyukai aroma menyegarkan. Clarissa tahu parfum yang dipakai olehnya, salah satu parfum tahun 90-an yang masih banyak peminatnya hingga kini. Jujur saja, Clarissa juga terpesona akan wanginya. Dari artikel yang pernah dibacanya bahkan menyebutkan bahwa parfum ini memiliki aroma andalan akuatik yang manis dan getir dari bahan-bahan seperti rockrose, patchouli, dan cedarwood, yang mampu membuat pemakainya tetap segar di hari terik.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...