AM | 22

3.6K 184 24
                                    

Langit di luar sana sudah menggelap, tapi tidak membuat hati seseorang dirundung resah. Dia sibuk menggoreskan pensil tumpul pada selembar kertas kosong. Kepulan asap samar terlihat berasal dari gelas kecil berisi frappuccino tepat di depannya. Tangan kecil itu dengan terampil berpindah tempat demi menghasilkan goresan yang diinginkan.

Suara deritan kursi yang ditarik paksa membuat jantung gadis itu sedikit tersentak. Namun, tidak lama kemudian dia kembali fokus pada kegiatannya lagi.

"Udah ke toiletnya, Al?"

Hening. Selang beberapa detik juga masih dikuasai oleh kebisuan dari lawan bicaranya. Dia mendongak  setelah menyimpan alat tulis di atas meja. Seketika matanya membesar. Seseorang yang duduk di hadapannya terlalu mengejutkan. Seharusnya dari awal Aurora juga menyadari bahwa aroma yang menguar terasa berbeda dengan laki-laki yang bersamanya tadi. Sosok Darrel yang datang dengan jaket denim hitam dan rambut yang tampak basah benar-benar kejutan tidak terduga.

"Setan! Kenapa jadi lo yang duduk di sana?" Jika tidak ingat bahwa Darrel adalah kekasih dari temannya, mungkin minuman yang terletak di atas meja akan berpindah tempat ke baju laki-laki itu, sungguh. Aurora tidak pernah menduga bahwa Darrel mau berinteraksi dengannya tanpa Clarissa.

Di antara keterkejutan Aurora, Darrel masih terdiam dengan pandangan tidak menentu. Wajahnya masih sama, tampak pucat dengan kantung mata kian menghitam.

"Darrel! Lo bukan setan, 'kan?"

"Lo udah ketemu Clarissa?"

Sesuai dugaan, Darrel malah bertanya hal lain tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaan darinya. Persetan dengan itu. Aurora telah melupakan Clarissa karena kekasihnya yang meminta untuk ditemani seharian ini.

"Clarissa kenapa? Dia baik-baik aja?"

Darrel menghela napas sejenak. "Gue gak tahu."

Aurora sudah akan membuka mulutnya untuk kembali bertanya, tetapi suara seseorang yang mendekat dan langsung meraih kunci mobil di atas meja membuat niat tersebut urung. Dia kembali menelan pahit kata-katanya itu. "Al, udah mau pulang?"

"Aku ada latihan hari ini, pulang sendiri." Laki-laki dengan kemeja biru gelap yang digulung hingga siku dan rambut legam undercut itu segera melangkah pergi.

Aurora menatap kepergian Aldrich Reinanda dengan tatapan tidak percaya. Rupanya dia masih belum berubah. Bagi Aldrich, tidak ada yang lebih penting selain kegiatannya sendiri. Tidak heran jika Aurora terkadang merasa tidak dianggap berharga.

"Aurora?"

Gadis dengan rambut tergerai rapi itu seketika menggeleng. Ini bukan baru pertama kalinya, entah sudah berapa kali dia ditinggalkan sendiri, bahkan diturunkan di jalan. Buang-buang waktu, adalah slasan klise yang selalu laki-laki itu katakan jika dia memaksa untuk ikut dengannya. Sungguh, hubungan macam apa itu.

"Ayo." Darrel bangkit setelah merapikan jaketnya.

"Apa, sih, lo?"

Darrel malas sekali sebenarnya untuk mengeluarkan banyak suara hari ini. Tidak bohong jika efek kurang istirahat dan minum air putih sudah mulai terasa. Sedari tadi bahkan tenggorokannya terasa panas. "Pulang."

Tidakkah Aurora salah mendengar perkataan Darrel? Dia takjub akan perubahan sikapnya. Aurora kembali tersadar ketika punggung tegap Darrel sudah berada di pelataran cafe. Dengan segera gadis bersurai panjang dengan bandana merah muda itu menyusul keluar.

Samar tetesan air terasa mengenai kulit ketika Aurora menginjakan kaki di luar. Darrel sudah berada di balik kursi kemudi ketika ia menghampiri. Aurora sedikit membungkuk lalu mengetuk kaca mobil yang tertutup rapat. Tak lama kemudian kaca hitam itu terbuka. "Clarissa di mana? Jangan buat gue curiga, ya."

"Gue anterin lo buat ketemu dia."

Menghadapi Aurora cukup membuat Darrel lelah. Namun, untungnya gadis itu mau mengerti tanpa banyak bertanya lagi. Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh keheningan. Darrel beberapa kali terbatuk pelan karena tenggorokannya terasa sakit, dari sana Aurora benar-benar membisu. Darrel sedikit bersyukur.

Dalam lima menit lagi mereka sampai di tempat tujuan. Darrel menghentikan laju mobil sedikit jauh dari kawasan rumah sakit?

"Clarissa di mana?"

Darrel menghela napas sejenak. "Dia sakit, tolong jagain dia."

Aurora menatap Darrel seketika. "Clarissa kenapa? Kenapa lo gak bilang dari tadi?"

"Maaf, tapi tolong jagain dia. Gue percaya sama lo." Darrel memandang Aurora dengan raut lelahnya.

Aurora sadar bahwa hubungan kedua orang itu pasti sedang tidak baik-baik saja. Pantas saja Darrel tampak berantakan sekali. Dia mengangguk, lalu segera bergegas keluar. Dia sedikit berlari menuju bangunan di seberang jalan. Tidak lupa dia berusaha menghubungi ponsel Clarissa.

Pening luar biasa menyerang kepala Darrel. Ia memejamkan mata dengan kepala terkulai di atas kemudi, berharap dengan itu rasa sakitnya menghilang. Namun, apa yang laki-laki itu lakukan malah memperparah sakit kepalanya. Jemari kokohnya membuka dashboard dan mencari sebotol obat dengan gerakan kasar. Suara dari beberapa barang yang terjatuh ke bawah kursi terdengar tapi Darrel merasa tidak perlu memedulikan hal itu. Setelah menemukan benda yang dicari, dengan cepat ia menelan pil pahit putih berukuran sedang. Tanpa air dan makan terlebih dahulu.

Darrel menenangkan dirinya sejenak dengan posisi terduduk. Ia terdiam selama lebih dari lima belas menit, seiring dengan peningnya yang berangsur hilang. Botol obat yang ada di genggamannya ia kembalikan ke tempat semula. Saat itu juga matanya menangkap sebotol obat lain. Sudah lama sekali dia tidak mengonsumsinya. Mungkin mulai saat ini dia akan membutuhkan obat itu kembali. Entahlah, Darrel muak sekali.

Ketika menaikan pandangan, gemerlap lampu sudah menguasai sekitar. Jam di ponsel Darrel yang hidup karena notifikasi pesan telah menunjukkan pukul tujuh malam. Darrel tidak menemui Clarissa sejak kemarin. Laki-laki itu benar-benar pengecut sekarang.

Darrel kehilangan ibunya. Darrel kehilangan harapan. Satu-satunya hal yang bisa dipertahankan dari hidupnya hingga kini hanya Clarissa. Bolehkah Darrel berharap satu-satunya hal berharga itu tetap dalam genggaman? Darrel menggeleng. Ia tahu sehancur apa Clarissa hari ini, bahkan saat gadis itu tidak mengetahui apa-apa.

Dulu, Darrel membenci ayahnya yang sering mempermainkan perempuan. Laki-laki itu menganggap komitmen dalam pernikahan hanyalah janji di atas kertas. Darrel sering mendapatkan tamparan karena memaki sang ayah atas perbuatannya.

Mungkin Darrel telah tersandung karma. Sekarang dia tidak jauh beda dengan ayahnya, dia juga mempermainkan perasaan perempuan. Namun, Darrel tidak bisa menerima bahwa dialah yang sepenuhnya salah. Darrel memang bodoh, bukan? Ketika seharusnya dia sadar dan tidak pernah memulai, dirinya justru kembali melanjutkan sandiwaranya. 

Jemari Darrel mengepal erat kemudian kepalan sempurna itu mengarah pada kemudi. Rasa sakit mulai menjalari tangannya tetapi itu tidak berarti apa-apa. Benar, Darrel membutuhkan obatnya kembali. Jika terus hidup seperti ini dia bisa menggila. Dashboard yang belum tertutup itu masih menampilkan sebotol putih obat yang dulu menemaninya. Jika Darrel mengakhiri semuanya di sini, siapa yang akan memastikan Clarissa baik-baik saja? Benar, Darrel harus bertahan karena Clarissa pasti akan kembali, setidaknya sebelum gadis itu mengetahui semua hal.

Darrel mengambil dua butir obatnya sebelum melaju pergi lalu menelannya susah payah. Semesta kembali membawa apa yang Darrel sempat tinggalkan, membiarkan laki-laki itu terpuruk dalam kubangan rasa sakit. Entah sakit karena kehilangan keluarganya atau sakit karena harus hidup dengan membohongi orang lain.

****

Hai, maaf banget karena cerita ini sempet mangkrak. Buat yang lupa sama jalan ceritanya silakan baca ulang.

AM update tiap Jumat sama Selasa. Have a good night, Guys. Thank you.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang