Berdiri dengan penuh rasa ragu adalah hal yang Clarissa lakukan sejak setengah jam lalu. Di depannya terdapat pintu kayu berwarna cokelat gelap yang tertutup rapat. Koridor lantai delapan apartemen ini senyap, seperti suasana yang bisa dia rasakan dari dalam sana.
Hatinya lagi-lagi berkecamuk. Dirinya terlalu takut menghadapi sang kekasih. Bukan takut akan kemurkaan, tetapi Clarissa lebih takut jika Darrel lelah dengan sikapnya. Membayangkan jika hubungan mereka kandas saat ini juga membuat Clarissa frustrasi. Bagaimana juga, Darrel adalah sosok terbaik untuknya.
Jemari kanan gadis itu mengepal dan terangkat mengarah ke pintu. Sebenarnya ada bel di bagian samping. Namun, Clarissa enggan terburu-buru menemui Darrel. Dengan langkah yang diambilnya, Clarissa berharap bahwa sang kekasih tidak segera menyadari keberadaan seseorang di depan ruangan apartemen ini.
Tepat ketika kepalan Clarissa akan menyentuh pintu, benda itu malah dibuka dari dalam. Clarissa membulatkan mata dengan tangan dibiarkan menggantung di udara. Kedatangan Darrel terlalu tiba-tiba baginya. Gejolak dalam hatinya jelas masih belum dapat dikuasi penuh. Entah bagaimana langkah yang akan Clarissa ambil jika begini, entah memilih berlari pergi atau berdiam diri.
"Clarissa?" tanya Darrel yang sama terkejutnya dengan sang kekasih.
Clarissa meringis dalam hati. Bisa-bisanya dia malah ketahuan secepat ini, padahal masih sangat berharap diberikan waktu lebih lama sebelum bertemu dengan Darrel. Clarissa menurunkan tangannya dengan cepat, lalu berdeham pelan.
"Siang, Rel." Senyuman canggung terulas di bibir tipisnya.
Darrel meneliti wajah Clarissa dengan sungguh-sungguh. Gadis itu terlihat salah tingkah sekarang, terbukti dari tatapan matanya yang berusaha mengelak.
"Mau ngapain?"
"Eh, Nggak, kok. Ini mau balik lagi."
Bodoh! Clarissa sangat bodoh dalam mencari alasan. Apa yang baru saja diucapkan olehnya pasti kentara sekali hanya sebuah bualan.
"Gue duluan."
Clarissa berbalik dan hendak berlari menjauh. Namun, Darrel mencekal pergelangannya. Cowok itu menarik Clarissa untuk segera memasuki apartemennya.
"Apa, sih? Gue mau balik!" Clarissa melepaskan cekalan tangan Darrel.
Darrel tersenyum singkat. Ia menunduk guna memandangi wajah putih bersih yang tampak memerah sekarang ini. Kekasihnya pasti sedang menanggung malu, kentara sekali. "Maaf."
Clarissa memundurkan tubuh untuk memberikan jarak yang cukup dengan wajah Darrel. Dia tahu bahwa Darrel hanya berdiam diri, tapi detakan di dadanya mengkhianati. Clarissa takut Darrel akan mendengar hal itu dan mengira bahwa dirinya mudah sekali luluh, bahkan hanya karena tatapan saja.
"Basi!"
"Bukan masalah ninggalin lo di taman kota, tapi masalah kemarin. Gue lihat lo keluar dari rumah Aurora dan gue malah pergi. Gue yakin kalau nunggu lo yang ragu buat jalan cuma sia-sia aja."
Clarissa memukul bahu Darrel tanpa aba-aba. Cowok itu suka sekali mempermalukan orang lain di depan orangnya sendiri.
"Minggir!" Gadis dengan atasan sweater rajut berwarna putih yang bagian bawahnya dimasukkan ke dalam celana denim biru muda itu melangkah melewati Darrel. Dia bahkan tidak menyimpan sepatu putihnya di rak samping pintu. Persetan dengan lantai ruangan ini yang baru saja dibersihkan, sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...