AM | 26

3.6K 180 15
                                    

Suasana rumah tampak berbeda saat Clarissa menginjakkan kaki di sana. Pintu cokelat di depannya tertutup rapat. Entah Liana sedang terlelap atau wanita itu sedang berlarut dalam rasa sakit. Clarissa tak tahu dan rasanya tak ingin mengetahui semua kebenaran. Bersamaan dengan ponsel dalam genggaman bergetar, Clarissa menarik pegangan pintu.

"Clarissa! Kamu dari mana? Mama teleponin kenapa gak dijawab?"

Perih sekali rasanya kala melihat wajah sang ibu yang penuh riasan. Clarissa teramat tahu apa yang ada di balik polesan bedak serta foundation itu. Bagaimanapun cara untuk menyembunyikan hal itu, Clarissa tidak mungkin lupa dengan apa yang terjadi siang tadi.

"Maaf, Leta gak tau kalau Darrel nyusul ke sini jadi jalan-jalan dulu sama dia." Clarissa mencoba mengulas sebuah senyuman seraya mendekati Liana yang terduduk di kursi ruang tengah. Ia segera menghujam tubuh yang lebih pendek darinya tersebut dengan pelukan.

"Kamu kenapa?" Liana sungguh terkejut, belakangan ini Clarissa sering sekali memeluknya tanpa alasan.

Clarissa menggeleng, lalu pelukan keduanya mengurai. Gadis itu memberikan sebuah kantung kresek yang sedari tadi ia bawa. Clarissa memilih untuk tidak mengetahui apa-apa. Ia akan bersikap biasa saja di depan ibunya. Clarissa juga akan melakukan hal yang sama di depan ayahnya. Ah, mungkin mulai sekarang Adrian bukan lagi sosok ayah bagi Clarissa.

"Darrel gak gak bisa mampir hari ini, udah kemalaman banget katanya. Dia juga belum dapet penginapan, jadi titip itu buat Mama."

"Kenapa gak diajak nginep di sini aja? Masih ada kamar kosong juga," kata Liana yang kini menarik sang putri untuk duduk di dekatnya. Rasa panas masih samar terasa dari sekotak penuh martabak manis di hadapannya.

"Mama kayak gak tau aja dia gimana. Darrel pasti lebih milih buat tidur di mobil daripada tidur di sini." Clarissa sedikit merasa lega saat Liana tertawa karena ucapannya tadi. Ia iri dengan cara wanita itu untuk tidak menunjukkan kerapuhannya. Namun, rasa sesak kian membuncah di dada. Clarissa tahu bahwa jauh dalam lubuk hati Liana, dia terluka. Meski tawanya tampak lepas, tapi dirinya tahu mata itu penuh kebohongan.

"Leta ke kamar dulu, mau mandi." Clarissa kembali tersenyum menatap Liana meski matanya mulai memanas. Dalam sekali kedipan sebulir air mata pasti akan jatuh.  Segera saja gadis itu melangkah terburu setelah mendapat anggukan.

Pintu kamar tertutup sempurna. Clarissa bersandar di sana dengan iris menatap hampa ranjang bersprai putih tulang di depannya. Tak lama berselang, samar suara isakan terdengar dari luar. Semua manusia sama saja. Mereka akan menangis ketika rasa sakit hadir, tidak peduli sekuat apapun dia menyembunyikan lukanya.

Tubuh Clarissa melemas. Ia meluruh ke lantai, mengabaikan rasa dingin yang menusuk. Clarissa merasa tak lagi sanggup harus berpura-pura. Untuk pulang, gadis itu tidak menginginkannya. Namun, Darrel memberikan pilihan untuk memberitahu Liana bahwa Clarissa melihat orang tuanya bertengkar dan semakin melukai wanita itu atau kembali ke sini dan berpura-pura tak tahu. Clarissa tak kuasa memilih opsi pertama. Kini sang antagonis dari kisah hidupnya adalah Adrian yang menjelma sebagai ayah terbaik di dunia.

Bibir pucat Clarissa bergetar. Gadis dengan tampilan lusuh itu kembali menangis entah untuk yang keberapa kalinya lagi. Isakan kian lantang melolong. Clarissa hancur. Tangan dengan plester cokelat di punggung tangannya bergerak menutupi wajah. Saat Clarissa menangis, ia tak ingin semesta melihat paras menyedihkannya. Sejak hari ini, Clarissa berjanji akan menghalangi semesta untuk menertawai hidupnya.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang