AM | 32

3.3K 172 6
                                    

Kondisi Clarissa membaik kala hari ketiga datang bulannya sudah terlewati. Selama itu, Darrel selalu menginap di rumah Clarissa meski semakin disibukkan persiapan untuk olimpiade. Masih dua hari lagi, tetapi Clarissa sudah gelisah tak karuan.

Katanya, kalau sampai Darrel menang mendaki ke Gunung Patuha akan tidak akan pernah terjadi. Padahal jelas saja bahwa olimpiade itu hanya nilai tambahan bukan hal yang sangat berpengaruh pada peringkat di sekolah. Mungkin, hanya akan menjadi lebih dikenal saja. Darrel menjawab seperti itu, yang mana membuat Clarissa benar-benar memukul dahinya.

"Lo tuh kalau udah pinter, pinter aja gak usah sama ganteng juga." Clarissa menatap Darrel kesal.

Sang lawan bicara hanya tersenyum mendengarnya. Juga, dia yang membalas tatapan Clarissa seiring dengan wajahnya yang mendekat, membuat gadis itu ingin menjauh saja. "Memang lo masih mau sama gue kalau gak kayak gini?'

Detakan jantung Clarissa seakan memenuhi hampanya ruang tamu yang hanya dihuni dua orang itu. Clarissa memejamkan mata ketika Darrel masih pada posisi yang sama. Bisa mati lama-lama, jika laki-laki itu masih berada sedekat ini. Darrel duduk di sampingnya dan sialan sekali karena Clarissa tepat di ujung, di mana tidak bisa berpindah jika Darrel menyudutkan. "Sama parfum lo aja gue udah jatuh cinta, Rel."

Darrel itu wangi. Terkadang aroma citrus maupun kayu manis. Terlebih rambut laki-laki itu yang selalu rapi dan jika Clarissa menyentuhnya terasa nyaman. Dari semua hal itu, Clarissa sudah jatuh cinta. Ah, lebih tepatnya dari tatapan khawatir pada pertemuan pertama mereka. Clarissa seakan selalu jatuh bersama tetesan hujan. Namun, jika air itu dapat jatuh di mana saja, maka Clarissa hanya dapat jatuh pada sosok Darrel. Tidak bohong jika ia mengatakan jatuh cinta hanya dengan wangi tubuhnya saja.

"Rel, jauhan sana, gue mau napas."

"Tinggal napas aja, kok, susah. Gue gak ngabisin semua oksigen."

Sialan! Entah sejak kapan Darrel menjadi lebih gencar dalam menggoda Clarissa. Sebelumnya, Darrel tidak sampai seperti ini, meskipun masih mampu membuat kekasihnya itu salah tingkah.

"Darrel!" Clarissa mendorong bahu Darrel hingga laki-laki itu menjauh sedikit, lalu berlari menuju lantai dua.

"Mau night drive gak?" Darrel setengah berteriak karena Clarissa sudah sampai di pertengahan anak tangga.

"Gue mana bisa nolak, 'kan?"

Darrel tertawa melihat Clarissa yang menatapnya kesal. Gadis dengan celana denim putih selutut dipadukan sweater rajut mustard itu masih menatapnya tajam. Melihat Clarissa kesal memberikan kebahagiaan untuk Darrel. Jika dapat memilih, ia ingin melihat wajah itu selamanya. Darrel tidak pernah ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain, tetapi apakah mungkin? Darrel takut, setiap malam dia selalu terbangun dengan mimpi paling menyakitkan, Clarissa yang menatapnya penuh kebencian. Sebelum hari itu tiba, Darrel berjanji akan memperbaikinya. Sudah seharusnya Darrel yang melakukan ini, karena Darrel sudah benar-benar luluh.

"Jam delapan harus udah selesai, gue tunggu di sini!"

"Bawel!" Suara bantingan pintu mengakhiri percakapan keduanya, walaupun lebih terasa saling meneriaki.

****

Hari Minggu dini hari, Darrel bersiap untuk tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi ia baru selesai mengerjakan makalah milik kekasihnya. Bukan, hal ini bukan atas dasar suruhan. Darrel menemukan setumpuk kertas serta laptop yang masih menyala dan menampilkan aplikasi word yang hanya berisi umpatan saja, seperti 'Darrel belum selesai, ya, padahal gue udah kangen brutal' serta absensi nama hewan. Darrel tersenyum. Clarissa sungguh merindukannya.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang