Ada hal yang Clarissa herankan perihal ketukan di pintu beberapa saat lalu. Dia sudah berjalan tergesa, bahkan hingga kaki kirinya tersandung meja. Namun, tidak ada siapa-siapa di depan pintu. Iris kecokelatan itu berpendar dan tidak menemukan hal janggal, kecuali sebuah paper bag di bawah sepatu yang dikenakan gadis itu. Clarissa terlalu fokus mencari sosok yang mengetuk pintu hingga melupakan tempat terdekat untuk diperhatikan.
Clarissa membungkuk guna mengambil benda berwarna biru terang tersebut. Dahi mulusnya mengernyit sebelum melihat isi dalam paper bag. Beberapa buku pembahasan materi ujian sekolah mengisi kekosongan di dalam sana. Sekali lagi, Clarissa melihat sekeliling dan berakhir tidak menemukan siapa-siapa. Masa bodoh, pikirnya. Lebih baik dia masuk dan mencari si pengirim sebenarnya.
Kembali pada kegiatan tadi—duduk di salah satu sofa ruang tengah—Clarissa mengambil tiga buah buku tebal sekali. Selembar kertas yang terselip di antara benda-benda itu terjatuh tepat ke atas pangkuan Clarissa. Dia mengambilnya dan menemukan brosur salah satu tempat bimbingan belajar berkualitas bagus, dari yang tertulis di sana. Ketika dibalik, ada sebuah notes yang tertempel.
Maaf gak bisa hari ini. Besok tunggu jam delapan pagi.
Clarissa berdecak. Bisa-bisanya dia melupakan bahwa kekasihnya itu suka sekali menyimpan barang untuknya. Meski begitu, senyuman terbit dari bibir tipisnya. Hal ini bukan apa-apa, tetapi rasanya selalu sama. Darrel tidak pernah memberikan barang yang mewah dan Clarissa tidak pernah dikecewakan oleh apa yang laki-laki itu berikan.
Dipandanginya lima buah buku tebal itu. Semangat untuk belajar lebih rajin lagi mulai hadir. "Gue harus kalahin lo tahun ini, Rel."
Sejak menjalin hubungan dengan Darrel, Clarissa tampak tidak terlalu peduli dengan pendidikannya. Namun, terkadang kekasihnya selalu menyinggung perihal ini. Katanya, jika Clarissa bisa mengalahkan perolehan nilai Darrel, maka gadis itu boleh meminta sesuatu. Clarissa harus dapat melakukannya mulai sekarang.
Perhatian Clarissa teralihkan ketika ponsel yang tersimpan di atas meja berdering. Setelah menyimpan brosur, gadis itu mengambilnya. Tertera nama sang mama di layar ponsel berlogo apel tergigit itu. Tanpa ragu, Clarissa menggeser tombol jawab hingga panggilan terhubung.
"Halo, Ma?"
Ada jeda sejenak di seberang sana. "Gimana kesehatan kamu, Clar?"
"Baik-baik aja, kok, Ma. Mama gak usah khawatir sama kondisi aku." Entah mengapa mata Clarissa terasa memanas. Dia rindu ibunya. Lima bulan sudah beliau tidak pulang untuk sekadar menyapa.
"Dua hari lagi mama jemput, ya. Jaga kesehatan kamu."
Clarissa menghela napas sebelum menjawab. "Iya. Mama baik-baik aja di sana?"
Terdengar kebisingan dari panggilan tersebut. Clarissa tidak dapat mendengar jelas karena seperti ada yang menghalangi suara yang masuk ke sini.
"Mama?" Berulang kali Clarissa mengatakan hal itu, tetapi belum mendapatkan jawaban dari ibunya.
Hampir satu menit berselang, barulah ada jawaban untuk pertanyaan Clarissa. "Maaf, Clar. Di sini lagi ramai banget, lanjut nanti lagi aja, ya."
Belum sempat bibir Clarissa terbuka, ibunya sudah menutup sambungan telepon secara sepihak. Clarissa mendesah pasrah. Sulit sekali menjaga komunikasi dengan orang tuanya seperti dulu lagi. Sang ayah pulang hanya sebentar, mereka bahkan hanya sempat saling sapa saja. Ibunya juga sulit dihubungi dengan alasan sibuk dengan beberapa pekerjaan rumah. Clarissa juga bahkan tidak tahu jika mereka memutuskan untuk membeli tempat tinggal di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...