Tidak ada yang dapat Clarissa lakukan seusai pulang sekolah lebih awal hari ini. Untuk les masih ada waktu dua minggu lagi sebelum dimulai. Hari ini Darrel tidak sempat mengantarkan pulang karena lima hari lagi olimpiadenya akan dilaksanakan.
Tadi pagi Clarissa sarapan ditemani Darrel di taman belakang sekolah. Ia mengutarakan ketidaksabaran untuk mengetahuinya hasil dari olimpiade yang sudah kekasihnya persiapkan dari jauh hari. Jika dirinya terlalu berapi-api, maka Darrel hanya tersenyum sembari memandang wajahnya. Darrel itu masih sama, tidak banyak berbicara tetapi rasanya jauh lebih nyaman sekarang. Darrel menjadi lebih sering berkunjung ke rumahnya tiba-tiba. Tanpa alasan yang jelas dia memasak kemudian memberikan daftar film yang mereka buat beberapa waktu lalu.
Darrel
Mau apa? Gue lagi di luar.Jangan lupakan juga bahwa Darrel tidak seketat itu sekarang, hanya saja ia harus meminum vitamin serta air putih teratur. Darrel juga selalu memberikannya makanan yang didominasi oleh sayuran hingga Clarissa menjadi terbiasa. Kesempatan itu tidak disia-siakan Clarissa, terbukti dari jarinya yang segera sibuk mengetikkan beberapa junk food dari brand terkenal. Meski Darrel belum tentu membelikannya, tidak ada salahnya berharap, bukan?
Suara ketukan di pintu membuat Clarissa meletakkan ponselnya. Keberadaanya di ruang tamu membuat jarak pintu cokelat tertutup itu tidak sampai lima meter. Clarissa menarik pegangan pintu dan sosok Delmar berdiri menjulang di sana. Dia menerobos masuk kemudian menarik tangan Clarissa bersamanya. Delmar mengunci pintu dari dalam. Bersamaan dengan itu terdengar teriakkan menggelar dari luar. Entah ulah apa lagi yang diperbuat laki-laki nakal itu. Clarissa menggeleng sebelum kembali duduk di sofa. Gadis itu menunggu balasan untuk pesannya pada Darrel.
"Jangan ngadu gue di sini."
Clarissa memutar bola matanya malas. Ia melirik Delmar sebentar lalu kembali mengetikkan pesan, menyuruh Darrel membeli kola sekalian. "Apa manfaatnya buat gue ikutan konflik childish lo sama Naina?"
"Lo sama cowok lo sama aja nyebelinnya."
"Lo yang nyebelin." Kali ini Clarissa menatap tajam Delmar yang seenaknya meneguk teh hangat yang masih utuh. "Gue belum minum itu!"
Delmar mengedikkan bahu lalu dengan seenaknya berbaring di sofa panjang yang keduanya tempati. Kaki laki-laki itu yang panjang membuat Clarissa yang berada di dekatnya sedikit terganggu, terlebih Delmar dengan tidak sopannya masih mengenakan sepatu converse senada dengan celananya–hitam.
"Lo ngapain ke rumah gue, sih? Sana samperin pacar lo."
"Gue lagi marahan sama dia." Delmar memperbaiki posisi berbaringnya, kini kakinya benar-benar berada di pangkuan Clarissa.
"Lo gangguin gue pacaran mulu, deh. Lo mau pacaran sama gue?"
Clarissa berteriak kala sebuah bantal sofa hijau tua mengenai wajahnya dengan keras, tidak tanggung-tanggung kekuatan yang Delmar berikan. Namun, laki-laki dengan kaus putih serta celana cargo hitam itu tak acuh saja. Dia bertanya tentang hal lain. "Gimana perasaan lo sekarang?"
"Kepo."
Kali ini Delmar mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Ia memperhatikan Clarissa yang tersenyum sambil melihat ponsel. Sudah hampir sebulan dari kembalinya gadis itu dari Bandung. Saat itu, Clarissa sering melamun dan hanya diam menatap bunga irisnya yang mulai layu. Clarissa seperti tidak memiliki gairah hidup saat kekasihnya juga ikut menghilang.

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Novela JuvenilKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...