Clarissa melemparkan botol air mineral ke tempat sampah terdekat. Ia berdiri di bawah lampu lalu lintas penyebrangan. Beberapa orang berada di dekatnya. Ada seorang pegawai negri, anak sekolah seperti dirinya, serta ibu-ibu membawa kantung belanja. Clarissa tidak ikut menyeberang bersama yang lain ketika lampu berwarna hijau. Gadis itu menunggu Darrel. Katanya dia akan segera menjemput. Namun, hingga setengah jam tidak ada tanda kemunculannya.
Ada sedikit rasa curiga. Bagaimanapun Darrel pernah melupakan janji temu mereka dan meninggalkan Clarissa sendirian di taman. Hati Clarissa berkecamuk, tetapi Darrel mengirimkan pesan beruntun di detik selanjutnya. Dia masih belum selesai kelas karena ada materi tambahan tidak terduga. Darrel mengirimkan banyak permintaan maaf, membuat Clarissa tertawa. Ia hendak mengetikkan balasan ketika kakinya disentuh oleh seseorang.
Wajah sendu anak perempuan berpipi tembam menyambut. Ia menarik-narik tangan Clarissa, membuat gadis itu menatap sekitar. Entah di mana orang tuanya.
"Kakak lihat Mama aku?"
Clarissa memasukkan ponsel ke saku rok. Dia berjongkok untuk menyejajarkan posisi dengan anak berusia sekitar lima tahun itu. Clarissa mengelus rambut hitam sebahu yang diikat tinggi. Sangat menggemaskan. "Kamu dari mana tadi?" tanya Clarissa.
Hanya suara isakan pelan yang menjadi jawab atas pertanyaan tadi. Sungguh, Clarissa rasanya ingin melarikan diri saja. Namun, gadis kecil ini tidak mungkin ditinggalkan sendirian. Meski Clarissa selalu mati kutu di depan anak kecil, hati nuraninya tetap berjalan dengan baik. Clarissa beralih memeluk dan mengelus rambutnya, berusaha menenangkan anak perempuan tersebut. "Mau ikut kakak beli es krim?"
Satu anggukan membuat Clarissa melepaskan pelukannya. Ia menatap gadis kecil yang menangis itu. Dihapusnya jejak air mata di kedua pipi. "Ayo!"
Baru saja tangan mungil itu bertaut dengan tangan Clarissa, seseorang dari belakang memanggil. Keduanya berbalik. Seorang wanita berhijab hitam dengan satu kresek putih kecil di tangan kiri berlari mendekat. Tangan mungil dalam genggaman Clarissa terlepas.
"Mama!" teriaknya.
"Alena! Kenapa kamu keluar duluan?" Tersirat nada panik di setiap suku kata yang diucapkan. Ia memeluk sang anak dengan erat. Mengabaikan jilbab yang tampak berantakan karena berlarian tak tentu arah.
"Maaf, Mama. Lena pengen es krim."
"Jangan diulangi lagi, ya. Mama sama Papa takut kehilangan kamu."
Satu menit berlalu, Clarissa tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya diam memperhatikan kedua orang yang berpelukan itu. Hatinya berdesir melihat bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu. Ah, Clarissa juga merindukan sang mama. Entah bagaimana wanita itu hidup sekarang. Clarissa masih tidak mau menghubunginya.
"Terima kasih sudah menjaga anak saya."
Bibir Clarissa mengulas senyuman. Kini wanita itu terlihat jelas wajahnya. Kedua orang itu ternyata mirip sekali. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan bibir tipis. Benar-benar gen tidak mampu membohongi. "Ah, iya."
"Alena, ucapin makasih dulu sama Kakak."
Gadis kecil bernama Alena itu mendekati Clarissa kembali. Ia mengambil tangan gadis itu untuk dikecup punggungnya serta mengucapkan kalimat terima kasih. Clarissa membalas dengan senyuman dan mengelus rambut Alena. Mereka mengucapkan salam perpisahan. Clarissa memandang kedua punggung yang menjauh tersebut. Rasa rindu kepada ibunya kian menguat.
"Adeknya lucu, ya?"
Clarissa menoleh dengan cepat. Sebelah lengan Darrel sudah bertengger manis di bahunya serta laki-laki itu tersenyum menatap lurus ke depan. Clarissa mendorong tubuh Darrel menjauh. Kedatangannya sungguh sangat tiba-tiba. Beruntung tidak ada kepalan tangan yang mengarah ke wajah tampan itu. "Narendra! Bisa gak kalau datang ngucap permisi dulu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
أدب المراهقينKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...