Selama berada di Bandung, Clarissa jarang sekali berada di rumah hingga Liana selalu bertanya akan hal itu. Namun, jawaban Clarissa selalu sama. Darrel akan pulang besok jadi harus menghabiskan waktu di sini sebisa mereka. Namun, itu hanya alibi karena ketika gadis dengan celana kulot jeans dan kemeja putih berlengan pendek tersebut malah menangis ketika mendudukkan diri di kursi samping kemudi. Darrel diam, memberikan ruang untuk Clarissa menenangkan diri.
Hening berkuasa selama lebih dari lima belas menit. Darrel menyodorkan selembar tisu saat Clarissa tidak lagi menangis. "Ada apa?"
"Gue cuma lagi pengen nangis." Clarissa tidak sampai terisak hingga harus terbata-bata saat berkata. Gadis itu bahkan segera membuang tisu keluar. Masa bodoh dengan benda putih itu yang akan mengotori jalanan.
Darrel mengerti bagaimana perasaan Clarissa. Rasa kecewa yang kekasihnya tahan serta amarah yang beberapa kali ingin dia tunjukan pada sang ayah tampak nyata. Namun, Darrel selalu berhasil mengendalikan hal tersebut. Laki-laki itu melepaskan sabuk pengaman, lalu menarik kepala Clarissa agar bersandar di bahunya. Tidak tertinggal, jemari Darrel mengusap halus surai legam Clarissa.
"Capek, ya?"
Tidak ada jawaban. Seiring kepala Clarissa mencari posisi ternyaman di bahu Darrel, tangan gadis itu mulai melingkari pinggang kekasihnya. Saat Clarissa mendongak, Darrel menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Ayo jalan! Lo harus buat gue ketawa malam ini," katanya.
Seperti inilah sosok Clarissa yang sesungguhnya. Dia akan memaksa pergi keluar saat bosan atau saat terlalu stres dengan tugas-tugasnya. Meski sekarang karena masalah berbeda, Darrel tetap merasa lega. Clarissa-nya yang sempat tak dapat ia kenali selama beberapa hari telah kembali.
"Ayo." Darrel mengelus rambut Clarissa kembali sebelum memasangkan sabuk pengamannya. Mobil Darrel mulai melaju ketika keduanya dalam posisi siap berkendara.
Sepuluh menit berkendara, mobil BMW X1 putih itu mulai mengaspal di tengah kemegahan Kota Bandung, bergabung bersama ratusan kendaraan yang melintasi jalan utama kota ini. Jemari Clarissa setia dalam genggaman Darrel yang kini diletakkan di atas paha laki-laki itu, seakan tidak membiarkan ada celah rasa dingin di sana.
"Ada apa antara lo sama papa?"
Darrel tidak langsung menjawab. Dia memerhatikan lampu lalu lintas yang dalam lima detik akan berubah merah. Darrel menambah laju mobilnya agar tidak perlu berhenti. "Emang kenapa?"
"Gue tahu, mata kalian pas ketemu kayak mau adu jotos." Clarissa menanti jawaban dengan memandang wajah bagian samping Darrel yang tampak memesona. Rahang laki-laki itu tegas tergambar dengan hidung yang runcing. Terlebih mata tajam yang menusuk jalanan itu. Benar-benar tiada dua.
"Clar, lo tahu apa yang paling gue benci?" tanya Darrel, sekilas mengalihkan pandangan pada kekasihnya. "Pengkhianatan. Gue benci denger apa pun tentang itu."
Clarissa hanya membisu. Dapat dirinya lihat samar guratan amarah di wajah Darrel. Entah apa yang pernah terjadi pada laki-laki itu. Jika diulas kembali, Clarissa tidak mengetahui banyak hal tentang Darrel. Ah, Clarissa bahkan tak tahu makanan kesukaannya. Darrel selalu memakan apa yang ia inginkan. Tampak egois bukan jika Clarissa memusuhi Darrel hanya karena satu kesalahannya?
Suara pintu mobil yang terbuka membuat Clarissa tersentak. Lamunan yang berlanjut membuat gadis itu tidak fokus. Bahkan ketika mobil Darrel berhenti Clarissa masih belum tersadar. Darrel mengajaknya keluar. Dia berjalan lebih dulu dengan Clarissa masih setia memandangi punggung yang menjauh itu. Darrel Elvan, entah seperti apa hidupnya. Clarissa hanya tahu nama serta di mana laki-laki itu tinggal. Saat pembagian raport, Darrel selalu mengambilnya sendiri dengan alasan memang siapa lagi yang mau datang ke sekolah selain dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Ficção AdolescenteKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...