Menjelang pukul dua pagi, Clarissa terbangun dengan keterkejutan tampak jelas di wajahnya. Peluh meluruh dari dahi. Clarissa mimpi buruk. Ia melihat Darrel berjalan ke arahnya yang terduduk di bangku taman sekolah. Iris legam itu menusuk tajam tanpa ampun. Saat Clarissa melambai, Darrel dengan cepat mendekat kemudian menodongkan sebuah pisau. Laki-laki itu menekan ujung mata pisaunya agar berhasil melukai permukaan leher Clarissa.
Clarissa menggeleng keras. Mengapa mimpinya sangat tidak masuk akal? Jika boleh meminta, ia berharap Darrel memasuki mimpinya dengan sebuket bunga iris, atau kata maaf dan berjanji untuk menjadi lebih baik. Ah, bahkan semesta pun enggan memberikan Clarissa rasa tenang.
Jemari lentik itu meraih segelas air di atas nakas setelah terduduk sempurna. Selama di rumah, Clarissa bisa tidur lebih mudah jika terbangun dini hari. Entah karena efek obat atau karena hal lain, Clarissa menjadi lebih lelah beberapa hari ini.
Lampu kamar Clarissa padam, penerangan ruangan 5×5 meter ini hanya berasal dari lampu tidur di samping ranjang. Cahaya kuning temaramnya begitu menenangkan, meski tak dapat menghalau keresahan Clarissa.
Udara terasa mulai mendingin. Clarissa sudah memastikan pendingin ruangan dalam keadaan mati. Namun, entah mengapa rasanya kian menusuk kulit. Iris kecokelatan gadis itu mengedar hingga menangkap gorden yang tertiup angin. Tampaknya jendela di samping pintu balkon belum tertutup sempurna.
Sedikit kesusahan Clarissa berjalan ke arah sana dengan ponsel di tangan. Clarissa seperti orang yang kecanduan ponsel karena selalu membawa benda elektronik itu ke manapun dirinya pergi. Saat membuka gorden, ponselnya bergetar pelan. Satu pesan masuk, tepatnya dari Delmar.
Delmar
Liat sini coba.Dahi Clarissa mengernyit. Tak urung menuruti kata tetangganya itu. Di seberang sana Delmar melambai dengan ponsel di tangan. Clarissa sedang tidak ingin diganggu laki-laki itu hingga berniat menutup jendela yang menjadi sela masuknya angin. Namun, satu pesan kembali masuk dari orang yang sama.
Delmar
Besok lo jadi ke Bandung?Hanya seperkian detik waktu yang dibutuhkan Clarissa untuk membaca pesannya. Delmar tampak menantikan balasan. Kepulan asap terlihat samar di sekitar laki-laki berkaus hitam berlengan pendek itu. Dia merokok, jelas saja Clarissa tahu. Delmar terbilang sering membeli rokok di swalayan depan, entah dengan cara apa dia mendapatkannya karena anak sekolah masih dilarang untuk membeli batang nikotin tersebut.
Delmar
Gue nanya, bodoh.Clarissa merasa terganggu dengan pesan yang ia baca sebelumnya. Tidak tahukah Delmar bawa Clarissa sedang tidak berada dalam suasana hati yang bagus. Jendela benar-benar tertutup sekarang. Clarissa menjauh setelah memastikan gordennya tertutup kembali. Sepasang sandal bulu berwarna merah muda itu melangkah menuju ranjang lagi. Dia menjatuhkan diri agar bisa langsung berbaring di atas tempat tidur.
Ponsel yang tersimpan asal di sebelahnya berdering. Clarissa enggan jika harus repot-repot menjawab panggilan saat ini. Bisa dipastikan bahwa Delmar yang melakukannya. Clarissa memejamkan mata, tetapi bunyi dering ponsel kian mengusik. Pada dering ketiga, Clarissa merampas kasar ponselnya kemudian bersiap mematikan benda itu. Namun, tak tega juga rasanya membiarkan panggilan itu tanpa jawab. Bagaimanapun Delmar telah menemaninya selama berada di rumah sakit.
"Ada apa, sih?"
Hening. Beberapa saat hanya ada suara batuk Delmar yang terdengar. Clarissa semakin kesal saja pada tetangga yang tak tahu waktu itu. "Lo niat gak, sih, nelpon gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...