Darrel berjalan dengan langkah tergesa menyusuri koridor lantai sembilan apartemen yang sunyi. Sinar lampu redup menjadi penerangan di sini. Darrel semakin mempercepat langkah ketika pintu yang ditujunya sudah dekat.
Setelah menekan beberapa dikit angka untuk akses masuknya, Darrel segera membuka pintu. Tubuhnya terasa lelah hari ini. Darrel melepaskan tas yang bertengger di bahunya, lalu dilemparkan ke arah sofa terdekat. Tak lama, cowok itu menyusul juga. Darrel menghempaskan tubuhnya yang terasa pegal di sana.
Darrel berdecak ketika ponselnya berbunyi. Mengganggu waktu istirahatnya saja. Sial. Namun, ia segera mengambil benda dari saku celana abunya itu. Hanya dengan memandang nama yang tertera di layar sudah membuat Darrel muak. Ia menyesal membuang waktu untuk menanggapi hal sia-sia seperti ini.
Suara ponsel yang dibanting keras ke atas meja memecah keheningan di ruangan luas itu. Darrel mengangkat pandangan. Jarum jam di dinding sudah menyentuh pukul enam lebih. Darrel mendengkus sebelum bangkit. Cowok itu berjalan ke dapur dengan tangan yang bergerak untuk melepaskan kancing kemeja putihnya.
Suasana hatinya tak baik sekarang. Darrel membutuhkan sesuatu yang dapat mengobatinya. Darrel membuka pintu lemari es dan mengambil sekaleng minuman berkarbonasi. Tanpa mengulur waktu, Darrel segera meneguknya hingga tandas.
Pemandangan langit malam terlihat dari kaca yang dibiarkan tanpa gorden. Darrel memandangnya hampa. Satu tahun sudah semuanya berubah. Namun, dirinya masih merasakan hal yang sama. Darrel melemparkan kaleng kosong tadi ke arah tempat sampah di ujung ruangan. Persetan jika benda itu masuk atau tidak.
Tampaknya malam ini, ia akan pergi menemui kekasihnya lagi. Darrel melepaskan bajunya sekarang, hanya menyisakan kaus hitam berlengan pendek saja. Cowok itu memukul tembok sekali sebelum pergi ke kamarnya.
Pukulan tadi cukup meninggalkan bekas kebiruan di tangan Darrel. Namun, cowok itu tak peduli. Ia butuh pelampiasan, tetapi tak ada yang bisa dijadikan itu. Terkadang berdiri di bawah guyuran shower dalam waktu yang lama mampu membuatnya tenang, walau hanya sesaat. Darrel sering melakukan itu, seperti saat ini.
Dua puluh menit waktu yang Darrel habiskan untuk menenangkan kepalanya yang terasa ingin pecah. Ia keluar setelah memakai celana jeans panjang dengan atasan kaus putih pendek. Darrel memandang wajahnya di cermin. Ada goresan di dahi kirinya. Rupanya bekas itu masih ada. Darrel membereskan rambutnya dengan tangan, tak lupa menutupi bagian goresannya.
Sekali lagi Darrel menatap pantulan wajahnya di cermin. Raut wajah ini akan dibenci orang-orang yang melihatnya. Percayalah, segaris senyuman pun tak terlukiskan.
Ketika sedang fokus, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Darrel menoleh dengan tatapan mematikan.
"Gue bilang pulang, lo gak ngerti juga?"
Darrel berdecih. Ia berbalik guna berhadapan dengan seseorang yang lebih tua dua tahun darinya, Aarav Kaivan Narendra.
"Gak ada yang kasih izin lo masuk."
Lelaki bersetelan kemeja rapi dengan celana bahan itu berjalan mendekat. "Jangan buat seolah-olah gue yang salah di sini."
Darrel malas menanggapi ini. Jujur, dirinya lebih memilih tidak pulang sama sekali jika tahu kakaknya akan datang memaksa. Darrel berlalu dengan menyinggung bahu Aarav.

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Novela JuvenilKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...