Nuansa biru terang memenuhi indra penglihatan Clarissa yang berbaring terlentang di atas tempat tidur. Gadis itu memandang hampa kamar milik sang teman, Aurora.
Ruangan 4×4 meter itu terasa masih luas meski sudah diisi lemari pakaian di sudut paling kiri, meja belajar serta rak sepatu berdampingan tak jauh dari sana, serta sebuah sofa dengan karpet tebal berwarna merah darah yang menjadi alas di bawahnya, juga ada meja rias dan nakas yang mengapit tempat tidur.
"Ra, gue salah gak, sih?" tanya Clarissa nyaris seperti sebuah gumaman.
"Salah apa?" Aurora yang sibuk dengan kapas dan cairan pembersih make up di depan meja rias menanggapi.
Clarissa memekik pelan lalu mengubah posisi berbaringnya menjadi terlentang. "Tadi Darrel minta maaf, tapi gue malah tolak dia."
Aurora tampak melemparkan beberapa kapas bekas digunakannya ke dalam tempat sampah terdekat. Dia beranjak dari meja rias untuk bergabung bersama Clarissa. "Pasti tadi, ya? Pantes gue nunggu lama di parkiran."
Clarissa menenggelamkan kepala di antara tumpukan bantal. Sekarang dia ragu akan semuanya. Pertama, sebagian hatinya merasa kecewa karena Darrel belum mau memberikan alasan yang pasti. Kedua, Clarissa juga teramat sadar bahwa tanpa Darrel selama dua hari ini hidupnya hampa. Clarissa seperti kehilangan sesuatu dari hidupnya.
Dalam hitungan beberapa minggu lagi, hubungan mereka bertahan satu tahun lamanya. Clarissa sebenarnya takut jika Darrel memilih pergi karena lelah dengan sikapnya yang seperti ini. Namun, di sisi lain kepercayaan Clarissa untuk Darrel kembali teragukan.
"Clar, gue gak mau ikut campur sebenarnya. Kalau Darrel buat lo ragu, lebih baik lo pikirkan lagi baik-baik."
"Darrel itu baik, bahkan kata itu kayak terlalu sederhana buat dia."
Aurora mengerutkan kening. "Baik? Dari mananya?"
Decakan Clarissa keluarkan sebelum mendudukkan diri agar sejajar dengan Aurora. Mereka kini duduk berhadapan.
"Lo gak sadar apa tugas gue selama kelas sebelas ini selalu dibantu sama dia? Malah kadang gue sama sekali gak perlu capek-capek ngerjain." Clarissa memandang Aurora dengan serius.
"Gue masih gak ngerti sampai sekarang. Kenapa lo bisa jadi pacar Darrel?" Aurora mengambil segelas air mineral dari atas nakas. "Selama kelas sepuluh, bahkan lo gak deket sama dia, paling cuma tahu nama aja."
Perkataan temannya memang benar. Terkadang Clarissa juga berpikiran hal yang sama. Darrel adalah sosok yang enggan menanggapi kehadiran orang lain, setidaknya itu yang Clarissa tahu dari cerita Aurora. Clarissa sulit mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupnya setelah kecelakaan itu.
"Coba lo pikir, deh. Waktu MOS, Darrel absen saking ngerasa gak pentingnya acara itu buat dia. Dia masuk setelah pembagian kelas dan kegiatan belajar efektif dimulai."
Clarissa menghela napas lelah. "Gue gak tahu harus gimana jawab pertanyaan lo."
Clarissa masih mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Darrel. Sore itu, Clarissa pulang terlambat karena ditinggalkan oleh Aurora yang mempunyai urusan keluarga. Clarissa masih belum pulih betul, tubuhnya masih lemah selepas operasi pengangkatan limfa dua bulan lalu. Orang tuanya bahkan masih melarang Clarissa melakukan aktivitas seperti biasa karena fisiknya jauh lebih rentan hingga tahun kedua masa pemulihan, biasanya. Namun, Clarissa dengan sikap keras kepalanya tetap memaksa pergi ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...