AM | 29

3.4K 184 24
                                    

Sore ini langit tampak mendung. Gemerisik daun pohon mangga amat nyaring ketika angin bertiup. Rambut panjang terurai Clarissa menjadi berantakan seiring dengan desahan lelah gadis itu. Ia juga mengeluh pegal karena tak melepas tangan dari atas kepala.

Kekasihnya masih ada urusan yang tak ia ketahui. Katanya lima menit lagi selesai, dari pesan yang baru sama Clarissa terima. Sepatu putih yang dikenakan beberapa jam lalu tampak kotor. Bener juga, Clarissa lupa bahwa sebelum sampai di taman ini, ada genangan air di dekat koridor gedung olahraga dan dengan bodohnya tak disadari lebih awal.

Clarissa mendongak saat merasakan setetes air jatuh di tangannya. Hujan. Sudah lama sekali sejak kali terakhir Clarissa merasakan tetesan hujan secara langsung. Senyuman samar terukir di bibir merah merona nan tipis itu.

"Kenapa gak neduh?"

Itu suara Darrel. Clarissa segera mengalihkan pandangan pada sosok yang menjulang tinggi di depannya. Clarissa duduk beralaskan rumput hingga selisih tinggi mereka sangat kentara. Clarissa mengulurkan tangan yang segera diterima oleh Darrel dan bersiap untuk bangkit. Kekasihnya itu memberikan jaket yang ditentengnya agar menutupi tubuh Clarissa. Ketika keduanya sampai di koridor, hujan sudah melebat.

"Dingin?" Darrel mengusap beberapa tetes air di rambut Clarissa, lalu memperbaiki letak jaketnya.

"Menurut lo?" Clarissa tersenyum saat mendapati gurat cemas di wajah Darrel.

Darrel menggeleng. Ditariknya tangan Clarissa agar mereka bisa berpindah ke tempat yang lebih nyaman. Kembali ke kelas bukan pilihan terbaik, berada di lantai satu pun begitu. Darrel tampak bingung harus menunggu hujan reda di mana. Tentu memaksa menerobos hujan hingga parkiran adalah pilihan terburuk. Jarak tempat tersebut dari lapangan utama saja sudah cukup untuk membuat basah kuyup.

"Di sini aja." Clarissa menarik tangan Darrel agar mengikutinya. Clarissa duduk di undakan tangga pertama, tepat sebelum deretan anak tangga lain di samping kiri.

"Di—"

"Darrel, gue gak akan mati cuma gara-gara kedinginan." Clarissa mulai kesal mendengar kekhawatiran Darrel yang terlalu berlebihan.

"Clar, vitamin lo abis. Gue juga belum sempet beli lagi."

"Gue tahu. Jadi, Darrel ayo duduk sini." Clarissa menepuk-nepuk lantai di sebelahnya, seolah Darrel tak mau ikut duduk karena kotor. Tidak lupa jaket milik laki-laki itu dijadikan alasnya.

Saat Darrel terpaksa duduk dan memasangkan kembali jaket di tubuh ringkih Clarissa, gadis itu malah tersenyum. Hal itu menjadi atensi terakhir Darrel sebelum memperbaiki posisi duduknya. "Kenapa?"

Clarissa menggeleng. "Lo ganteng." Setelah seminggu menghilang, Darrel kembali setelah mengirim pesan padanya, yang mana pesan itu berisi 'lo cantik'. Clarissa bersumpah akan mengatakan hal yang sama di depan Darrel langsung dan melihat bagaimana reaksi laki-laki itu.

Namun, Darrel malah menutup matanya sekarang dan mengatakan bahwa ia harus rajin belajar dulu agar bisa mengalahkan perolehan nilainya di taun terakhir ini. Laki-laki yang kemeja putihnya sudah tidak dimasukkan ke celana abu itu memang menyebalkan, bukan?

Keheningan menyelimuti kemudian. Clarissa terdiam dengan pandangan lurus menatap tetesan hujan yang turun begitu bebas. Tidak seperti dirinya yang terkurung sesuatu. Bukannya Clarissa tak bersyukur akan hidupnya sampai sejauh ini. Namun, bayang-bayang hubungan orang tuanya tidak bisa selalu diabaikan. Jika ibunya masih sering menanyakan kabarnya, sang ayah entah di mana keberadaannya, bahkan Clarissa merasa tak pantas menyebutkan panggilan itu.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang