Tidak bisa bertahan lama-lama dalam kebohongan membuat Clarissa sangat merindukan rumahnya di Jakarta. Hanya berselang dua hari setelah kepulangan Darrel, gadis itu menyusul. Clarissa meraih ponsel untuk memastikan pesan serta panggilannya mendapat jawaban. Namun, sang kekasih masih sulit untuk dihubungi.
Clarissa masih ingat saat Darrel berkata jangan mencarinya karena dia pasti akan datang jika Clarissa butuh. Sekali lagi Clarissa mencoba menekan tombol panggil setelah mengamati nomor Darrel lekat. Kembali suara operator yang menjawabnya. Ah, ke mana laki-laki itu? Ia rasa olimpiadenya masih cukup lama, sekitar dua bulan lagi.
Menyudahi kegiatan tidak jelasnya, Clarissa segera bangkit untuk bergegas mandi. Dia mengambil handuk dan tak sengaja menyenggol tas di sampingnya. Benda-benda dari sana berceceran di lantai membuat Clarissa merutuk. Dirinya yang selalu lupa menarik resleting tas memang buruk sekali.
Mau tak mau, Clarissa berjongkok dan membereskan kekacauan kecil itu. Ada dompet merah muda, kartu pelajar, buku matematika, serta brosur tempat bimbingan belajar. Seingatnya, Clarissa memakai tas itu kali terakhir ketika sekolah belum libur.
Hampir saja gadis dengan rambut dicepol asal itu meninggalkan sesuatu di lantai. Selembar foto polaroid dengan tanggal yang membuat pikiran Clarissa berkelana.
8.1.19
Itu apa? Kata berulang yang tak pernah terjawab kian menyiksa. Clarissa memercayai Darrel. Sepengetahuannya juga, dia selalu bersikap acuh tak acuh pada orang lain. Rasanya tidak mungkin Darrel memiliki seseorang yang lain. Sial! Mengapa sosok dalam foto itu tidak jelas. Ketika memperhatikan bagian belakang, ada jejak samar titik kemerahan. Bukan jejak lipstik atau apa pun, tetapi di mata Clarissa tampak seperti jejak darah yang terhapus. Lantas, apa ini semua?
Clarissa melihat benda mengilat yang melingkari jari manisnya. Benda itu terlihat pas sekali, seakan Darrel begitu tahu ukuran jarinya. Apa salah jika Clarissa berniat menanyakan kebenaran dari siapa sosok yang fotonya disimpan oleh Darrel bahkan ketika sisi-sisinya sudah lusuh dan terlipat juga noda samar di beberapa bagian. Jujur saja ada bagian dari hati Clarissa yang mencurigai sang kekasih. Bagaimanapun, Darrel itu masih menjadi misteri untuknya.
Butuh waktu lama untuk Clarissa menenangkan diri. Ia berdiri di bawah guyuran shower dengan pikiran berkelana. Meski foto yang diambilnya secara diam-diam dari dompet Darrel telah disimpan kembali, proporsi tubuh serta rambut perempuan itu masih terbayang nyata. Tampak tak asing tetapi Clarissa juga tak tahu siapa.
Meski Clarissa sudah menyelesaikan mandi, kepalanya masih terasa sedikit pening. Dirinya sudah mengenakan pakaian lengkap ketika keluar dari kamar mandi. Sweater rajut merah beludru serta celana denim panjang membalut tubuh kecil nan tinggi itu. Clarissa memakai sandal bulu putih, lalu berjalan menuju tempat tidur. Ia mengambil ponsel ketika benda itu berkedip. Ada satu panggilan tak terjawab. Tak berselang lama, panggilan lain masuk. Itu semua bukan dari orang yang Clarissa tunggu.
Ponsel berlogo apel tergigit itu melayang bebas kemudian mendarat di atas ranjang. Persetan dengan panggilan dari Delmar yang terus mengusik. Clarissa mendekati nakas dan memperhatikan bunga iris ungu yang sebagian sudah layu. Wajar saja, bunga ini memang pemberian Darrel setelah mengajaknya berjalan-jalan di Braga beberapa hari lalu.
Clarissa tersenyum kecil. Ia teringat ketika Darrel berkali-kali meminta maaf karena dia yang lupa menuruti keinginan Clarissa untuk membeli kopi. Ia menolak untuk Darrel kembali ke sana, tetapi kekasihnya itu memaksa. Hampir pukul sebelas, Darrel datang dengan cup kopi berukuran sedang. Tujuan untuk pulang pukul dua dini harinya juga batal karena Darrel yang tertidur ketika mereka sedang duduk di atas undakan tangga rumahnya.
Jemari lentik Clarissa bergerak untuk menyentuh kelopak bunga yang sudah tampak kecokelatan itu meski vas kacanya sudah diisi air. "Lo ke mana, Darrel?" tanyanya yang berakhir dengan embusan angin sebagai jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...