Kaleng merah minuman berkarbonasi mengenai tempat sampah dengan tepat sasaran. Tidak ada kata yang terucap dari seseorang dengan celana denim hitam dan kaus pendek abu-abu itu. Pandangannya teralih ketika seseorang menawarkan sebungkus rokok. Darrel menggeleng, membuat Delmar mengangguk paham. Asap dari sebatang nikotin yang menyala terus menguar, menguasai atmosfer keduanya.
"Lo beneran jatuh cinta kali ini?" Delmar bertanya.
Darrel meraih kaleng merah lain, lalu membuka penutupnya. Ia meneguk minuman itu beberapa kali. Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang mudah, tetapi Delmar yang bertanya membuat hal tersebut menjadi tidak sederhana. Dia jelas tahu perkataan Darrel setahun lalu mengenai hubungannya dengan Clarissa. Ah, Darrel membutuhkan banyak minuman untuk membasahi tenggorokan yang kian terasa sakit.
"Mengingat perkataan lo waktu itu, gue gak bisa yakin."
Hampir dua tahun lalu ternyata. Namun, Darrel masih bisa mengingat dengan baik pertemuan pertamanya dengan Delmar. Hujan masih turun deras kala itu. Darrel mengantarkan Clarissa pulang dari rumah sakit setelah dirawat selama tiga hari. Ketika Darrel hendak membuka pintu mobil, Delmar mencekal tangannya. Mereka bersitatap di bawah naungan payung masing-masing. Dia tidak menanyakan kabar atau menyapa setelah sekian lama tidak bertemu. Pertanyaan cukup mengejutkan untuk Darrel yang tidak mengenal dirinya.
"Lo suka sama dia?"
"Siapa?" tanya Darrel. Sungguh, ia tidak bisa mengingat wajah orang lain dengan mudah.
"Lo Darrel Elvan kelas 9-4, 'kan?"
Darrel mengernyit. Masa putih birunya sedikit tidak membahagiakan, hingga ia ingin melupakan masa itu. Meski semua hal tidak bisa diubah, dengan menghindarinya akan sedikit lebih baik, bukan?
Darrel melepaskan tangan yang masih dicekal Delmar. "Lo siapa?"
"Lupain aja kalau lo gak inget." Delmar tertawa sinis. "Lo serius suka sama Clarissa?" lanjutnya.
"Iya."
Suara rintihan Darrel terdengar sesaat setelah pipinya mendapat tinjuan. Payung berwarna putih dalam genggamannya jatuh mengenai genangan air di jalanan. Delmar yang melakukan itu, menatap dengan pandangan tajam. Entah apa masalah antara mereka. Jika tersinggung karena Darrel melupakan siapa dia, maka Darrel memerhatikan wajah itu baik-baik. Kulit sawo matang, alis tebal, hidung mancung, serta bulu mata lentiknya mulai terasa tidak asing. "Lo punya masalah apa sama gue?"
"Banyak masalah antara kita, Darrel! Lo inget sama seseorang yang suka lo laporin ke guru karena bawa rokok di tas?"
"Delmar?"
"Lo inget sekarang? Gue selalu keluar-masuk bimbingan konseling gara-gara lo!"
Darrel menyipitkan mata karena tangisan langit mengahalau pandangannya. Rasa dingin juga mulai menusuk seiring baju yang basah kuyup. Ia berniat mengambil payung, tetapi ditendang menjauh oleh seseorang di depannya. Pandangan mata laki-laki itu kian menusuk bak rangkaian belati bersiap menghunus dari sana. Darrel tidak tahu apa masalahnya.
"Gue tau lo anak jaksa yang ngebebasin pelaku tabrak lari Clarissa beberapa bulan lalu." Delmar mendorong tubuh Darrel hingga membentur mobil. "Lo iba ngeliat dia yang lemah atau ada maksud lain buat deketin dia?"
Darrel membalas memukul pipi kiri Delmar. Sejenak matanya memperhatikan lampu kamar Clarissa yang menyala. Jika gadis itu melihat dari arah balkon, maka pertengkaran ini akan diketahui olehnya. Sekali lagi, Darrel memukul pipi Delmar di bagian yang sama, kemudian menarik kerah kaus Delmar agar mengikuti langkah untuk menjauh.
![](https://img.wattpad.com/cover/155563548-288-k688535.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...