AM | 1

11.9K 587 140
                                    

Mentari menyorot tanpa rasa belas kasihan. Panasnya terasa mampu menghanguskan kulit perlahan. Decakan terdengar dari beberapa orang yang berbaris rapi memenuhi lapangan upacara SMA Liberty.

Clarissa mengusap keringat yang menetes dari dahinya. Sial! Mengapa juga harus ada sesi panas-panasan menjelang istirahat pertama ini?

"Sumpah, rasanya gue pengen maki diri sendiri." Aurora Deandra mengepalkan tangan erat-erat, menahan geram.

"Maki aja, gue dukung, kok."

Clarissa mengaduh setelah berkata seperti itu. Kepalan tangan temannya-Aurora-tepat mengenai dahinya yang penuh keringat.

"Clarissa Leta, sadis banget temen gue satu ini." Aurora memandang gadis yang lebih tinggi sedikit darinya. Tolong garis bawahi, perbedaannya tak banyak, hanya lima sentimeter saja.

"Ini salah lo, ya. Coba aja lo gak ngomong di grup kalau hari ini free, kita semua pasti ngerjain tugas." Clarissa menginjak kaki kanan Aurora dengan keras.

"Bangsat! Sakit!"

Seketika perhatian semua teralihkan pada Aurora yang berteriak dengan kaki terhentak, termasuk seorang pria paruh baya yang mengawasi mereka dari lantai dua.

"Jangan ribut! Saya tinggal sebentar, hukuman kalian masih berlaku sepuluh menit lagi, paham?"

Semuanya mengangguk paham. Percayalah, mereka tak mau mempermalukan diri dengan bertingkah kembali. Sudah tiga puluh menit mereka berdiri bak orang bodoh di tengah lapangan ini. Bisa bayangkan rasa malunya, bukan?

Permasalahan hari ini adalah hasutan dari salah seorang siswi yang mengatakan jika pembelajaran tidak akan berjalan seperti biasa, karena akan ada rapat pembahasan mengenai pensi sekolah. Namun, kabar itu kurang tepat. Rapat memang berjalan, tetapi di luar jam pembelajaran.

Clarissa kembali menyeka keringat di wajahnya. Kini panas benar-benar terasa menusuk kulit. Ia mengumpati sosok Aurora yang mengipasi diri dengan tangan, tepat di sampingnya.

"Gue harus tambah skincare, nih. Ah, sial!"

Clarissa hanya mendengkus mendengar perkataan temannya. Tak tahu diri sekali, padahal dialah sumber masalahnya di sini. Ketika Clarissa hendak menghalau panas dengan telapak tangan, seseorang memasangkan topi di kepalanya. Gadis dengan surai hitam yang tampak lepek itu menoleh dengan cepat.

"Gak boleh panas-panasan." Senyuman tipis dari bibir cowok itu terulas. Dia memperbaiki letak topi seraya menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Clarissa.

"Darrel?"

"Masih panas, gak?" Darrel bertanya dengan posisi tubuh tepat di depan Clarissa, menghalangi sinar mentari yang hendak menuju gadis itu.

"Ngapain?" tanya Clarissa berusaha meredakan keterkejutannya.

"Nemenin pacar." Darrel membelah barisan tepat di depan Clarissa, hingga ia bisa tepat berdiri di depannya.

Suara seperti orang muntah terdengar dari samping mereka. Aurora adalah pelakunya. Dia terlihat mual dengan ocehan Darrel dan Clarisa.

"Kenapa lo? Mabuk?" Clarissa menatap jengah Aurora.

"Mabuk gue, mabuk cinta."

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang