AM | 19

3.9K 204 30
                                    

Manusia terkadang dapat melupakan perkataannya sendiri dalam waktu singkat. Mereka berjanji untuk hari esok, tetapi ketika esok tiba malah mengkhianati kepercayaan yang dibangun seseorang. Dusta dan manusia memang selalu berpadu dengan sempurna. Pada akhirnya, rasa sakit lahir tanpa ada rasa iba lagi.

Ketika langit jingga di atas sana hampir kehilangan sang mentari, sosok yang Clarissa tunggu belum tiba juga. Entah harus berapa lama dia duduk terdiam di depan gerbang sekolahnya. Sunyi senyap menemani dan merangkul tubuh ramping dengan balutan kemeja putih serta rok denim biru pudar selutut itu. Sesekali jemari lentik miliknya mengusap pundak dari sapuan angin.

Dua jam sudah dia menunggu. Tidak ada penjelasan apa-apa ataupun sekadar kabar dari seseorang yang ditunggu. Kini mulai hadir setitik penyesalan atas dirinya yang langsung menuruti perkataan sang kekasih. Seharusnya Clarissa tahu bahwa Darrel tidak biasanya membiarkan dia pergi sendirian. Laki-laki itu selalu menjemput ke mana saja mereka akan pergi. Darrel juga tidak akan mudah memberi izin untuknya keluar dari rumah dalam keadaan mendung seperti ini.

Clarissa mengembuskan napas kasar sebel mengambil ponsel di dalam tas selempang yang tersimpan di pangkuannya. Ketika benda elektronik itu menyala, tetap tidak ada pesan atau panggilan yang masuk. Ruang obrolan bahkan masih menampilkan pesan terakhir yang dia kirimkan untuk seseorang yang tetap ditunggu kehadirannya.

Darrel:
Rel?

Tangan itu gemetar ketika akan menuliskan pesan baru untuk menanyakan keberadaan laki-laki itu. Darrel seharian ini tidak ada kabar sama sekali, bahkan dari kemarin malam dia menghilang entah ke mana. Clarissa tidak pernah tahu apa saja yang kekasihnya lakukan di luar sana. Darrel sering seperti ini. Dia akan kembali dengan sebuket iris putih dan permohonan maaf, kemudian memberikan perhatian lebih seperti biasanya. Namun, wajah letih Darrel selalu menghadirkan pertanyaan dalam benak Clarissa. Wajah pucat dan kantung mata menghitam dapat dilihat jelas oleh matanya kala Darrel kembali setelah tanpa kabar sama sekali.

"Darrel, sebenarnya ... lo kenapa?"

Suara petir terdengar murka kali ini. Petang perlahan mulai berganti kemegahan cahaya lampu. Clarissa tersenyum nanar ketika masih belum melihat tanda-tanda akan kehadiran Darrel.

Untuk pertama kalinya, Clarissa kembali terjebak di bawah hujan tanpa naungan seseorang. Rintikan yang terus menderas itu menyergap tubuhnya tiada henti. Hanya pohon palm tinggi yang sedikit menghalau tangisan langit. Clarissa berbalik dan sekolah ini sudut ditutup, tidak menyisakan satu orang saja, kecuali dirinya.

Miris sekali hidupnya. Menunggu Darrel tanpa ada sepatah kata yang mampu menjelaskan kebenarannya itu menyakitkan. Entah di mana laki-laki itu. Entah sedang apa dia sekarang. Mungkin, Darrel sedang menikmati segelas kopi dengan pandangan tertuju pada gemerlapnya kota dari lantai delapan apartemen. Clarissa tidak tahu dan selalu begitu jika menyangkut kehidupan Darrel yang lainnya.

Clarissa seperti orang bodoh jika tetap menunggu seseorang yang melupakan perkataannya sendiri. Clarissa menyesal mengapa langsung menuruti perkataan Darrel, daripada mengunjungi apartemen laki-laki itu terlebih dahulu.

Gue berharap alasan lo kali ini adalah jawab dari semua tanya yang menghantui keraguan gue.

****

Iris legam Darrel terbuka sempurna ketika terdengar suara bel dari depan. Dia menegakkan tubuh dan baru tersadar bahwa tertidur di meja ruang utama dengan posisi duduk. Pantas saja lehernya terasa pegal. Setelah meregangkan otot-ototnya, Darrel segera bangkit dan bergegas membuka pintu.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang