AM | 37

3.3K 160 3
                                    

Menghindari panggilan telepon, tidak membalas pesan, dan menjauh dari parkiran adalah hal yang Clarissa lakukan. Ia juga berangkat awal pagi tadi, bahkan Delmar yang baru selesai lari menatap dirinya aneh. Katanya, orang waras mana yang berangkat sekolah ketika matahari baru saja terbit. Persetan. Clarissa hanya membalas ucapan laki-laki itu dengan acungan jari tengah. Jangan lupa, gadis itu menggunakan hooodie hitam yang kupluknya menutupi kepala serta masker hitam. Sudah seperti seorang pelaku kejahatan yang bersembunyi dari kejaran polisi, bukan?

Ditatapnya jam tangan putih yang melingkari pergelangan kiri. Sudah pukul lima. Sekolah mulai lengang. Parkiran mulai kosong. Namun, mobil BMW hitam masih menjadi penguasa di bawah sana. Hanya tersisa kurang dari sepuluh motor saja, hingga kendaraan roda empat itu sangat mencolok. Benar-benar menyebalkan.

Satu pesan masuk membuat Clarissa menatap layar ponsel yang menyala. Rapalan doa dalam hatinya tidak terkabul kala nama Darrel tertera di sana. Tuhan, Clarissa berharap hari ini Darrel sibuk penelitian atau apa saja yang penting lupa akan dirinya. Saat waktu istirahat tiba, Darrel mendatangi kelasnya dan Clarissa pura-pura sibuk dengan mengerjakan segala hal. Dari membersihkan papan tulis hingga menyapu lantai yang belum terlalu kotor hingga beberapa orang protes, merasa terganggu. Darrel yang melihat itu keluar tak lama kemudian. Ah, Clarissa juga tidak mau menatap atau menjawab pertanyaan kekasihnya.

Darrel
Udah pulang?

Clarissa mengacak rambutnya. Entahlah. Ia hanya membiarkan layar ponsel kembali menghitam perlahan tanpa berniat mengetik balasan. Bagaimana caranya melupakan kejadian malam kemarin? Anehnya, Darrel tampak biasa saja. Clarissa makin geram saja. Memang tidak ada hal lain yang terjadi, sungguh. Ketika Darrel mengecupnya, Clarissa membatu hingga bermenit-menit berlalu. Masih dibalut keterkejutan, Darrel mengajaknya untuk pulang karena sudah lewat pukul dua belas malam. Sepanjang perjalanan Clarissa tidak fokus. Dirinya tidak menyadari bahwa perjalanan pulang terasa jauh lebih singkat. Mungkin karena manusia yang duduk bersebelahan itu membisu. Darrel fokus menyetir, sedangkan Clarissa fokus mencerna apa yang Darrel lakukan beberapa waktu lalu.

Mengingat hal tersebut selalu membuat pipi Clarissa memerah. Tubuhnya lemas, seperti saat ini. Rambutnya kian berantakan karena diacak tak menentu. Pergerakan tangannya tertahan oleh cekalan seseorang. Clarissa mendongak dan mendapati sosok yang selalu menghantui pikirannya berdiri tegak. Sial! Bulir keringat yang jatuh di pelipis laki-laki itu sangat menarik perhatian. Belum lagi, rambut pendek rapinya sedikit basah. Darrel tampak memesona bahkan saat kelelahan. Ralat, dia tidak pernah jelek, menurut Clarissa.

Darrel menatap lekat Clarissa. Ia membereskan rambut panjang sedikit kusut itu. "Kenapa gak balas pesan? Telepon juga gak pernah dijawab."

Cukup. Clarissa bergerak menjauh. Dia menggeleng dan berteriak menyuruh Darrel agar tidak mengikuti. "Lo diem!"

Melihat Clarissa yang terus mundur membuat Darrel hendak melangkah. Posisi mereka sangat memudahkan untuk salah satunya berlari menjauh. Keduanya berhadapan dengan Clarissa membelakangi koridor sebelah kanan dan Darrel kiri. Lantai tiga ini memang mempunyai dua tangga, satu di ujung kiri dan satunya lagi di arah sebaliknya. Hal ini memudahkan siswa-siswi untuk berlalu lalang, tetapi tidak untuk seseorang yang melarikan diri dari kejaran banyak orang, tentu karena mudah untuk dikepung.

Darrel bersiap merangkai langkah, membuat Clarissa kembali berteriak. Tidak sedikitpun gadis itu menghentikan langkah untuk mundur.

"Clarissa! Kenapa, sih?"

Darrel kali ini berjalan hingga jarak keduanya mengikis. Detik itu juga Clarissa berlari. Mengabaikan dua orang yang sedang berjalan di depannya dan mengakibatkan mereka tersenggol. Sepanjang jalan dia terus berteriak agar Darrel tidak menyusul. Namun, sang kekasih masih saja mengejar ketika Clarissa berbalik. Ia terus mengumpat dalam hati. Untuk pertama kali setelah dua tahun dirinya berlari sekencang ini, bahkan ketika menuruni tangga kakinya bagai tidak menyentuh lantai saking cepatnya. Keringat yang mulai membasahi wajah dan napas memburu tidak membuat Clarissa berhenti.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang