Semua masih sama, bahkan para peserta didik SMA Liberty disibukkan oleh acara pembukaan bazar pagi ini. Sedari tadi, hilir-mudik mereka menguasai lapangan utama yang luasnya hampir setengah dari lapangan sepak bola.
Hal itu tidak berlaku untuk Darrel. Cowok itu hanya membisu dengan tatapan tertuju pada lautan manusia yang memenuhi lapangan. Berdiri di lantai dua—tepat di depan laboratorium biologi—mengawasi setiap pergerakan mereka.
Wajah berseri milik sang kekasih terlihat olehnya. Hampir dua hari Darrel tak berkunjung ke rumah gadis itu. Clarissa juga tampak tak acuh padanya. Kemarahannya bertahan sejauh ini.
Bukan kali pertama Clarissa merajuk pada Darrel. Dia sering mendiamkannya atau enggan menyambut kehadiran Darrel. Setiap kali terjadi, masalah kecil bisa dengan mudah menjadi besar. Clarissa tak akan pernah memaafkan Darrel semudah itu atas setiap kesalahannya. Padahal, Darrel sudah melakukan banyak hal untuk Clarissa. Darrel bahkan rela waktu tidurnya setiap malam harus berkurang hanya demi menemaninya. Darrel juga sering mengerjakan tugas milik Clarissa dengan alasan gadis itu terlalu malas.
Darrel menghela napas kasar. Tangannya bertumpu pada pembatas tembok dengan cat berwarna abu-abu itu. Irisnya berpendar dan berhenti di satu titik, di mana Delmar memandangnya dari kejauhan. Cowok dengan kemeja putih dikeluarkan itu berjalan mendekat setelah memastikan Darrel melihatnya.
"Lo belum baikan sama dia?" Delmar berdiri di samping Darrel dengan tatapan lurus memandang orang-orang di bawah sana.
Darrel menggeleng pelan sebelum kembali memandang jauh ke bawah sana. Sosok Clarissa yang baru saja datang dari arah kantin dengan dua kantung kresek di tangannya terlihat kerepotan. Wajah kesalnya bertahan bahkan hingga dia mendudukkan diri.
"Clarissa gak pernah berubah."
Delmar terdiam sejenak. Rangkaian kata di benaknya sedang mencoba ditata sedemikian rupa. "Clarissa kekanakan?"
Darrel menoleh hingga dirinya bisa memandang wajah Delmar yang sedikit menampilkan senyuman.
"Gue akui iya, bahkan dia juga terlalu mengekang apa yang dia punya, termasuk lo."
"Gue—"
"Sampai kapan lo mau memberikan dia perlindungan kayak gini?" Delmar membalas tatapan Darrel. "Semakin lama, semakin susah keluar dari lingkaran itu."
"Gue gak tahu."
"Gue akan anggap pernyataan lo setahun lalu gak pernah gue ketahui. Gue gak mau temen gue jadi orang paling bodoh di dunia ini."
"Hati gue gak pernah terbuka lagi setelah pengkhianatan itu." Kali ini, Darrel menatap hampa jemarinya yang berada di atas tembok pembatas. Semua yang bercokol di kepala dan hati terasa saling mendesak bersamaan.
Delmar terkekeh sinis. Ia memperbaiki letak tali tas di bahu kiri sebelum memandang Darrel kembali. "Gue gak mau lo terlambat menyadari semuanya. Berhenti kalau lo ngerasa gak mampu, perjuangkan kalau memang hati lo menang."
****
Sekolah mulai lengang. Tak heran sebenarnya. Mentari sudah berada di ufuk barat, berdampingan dengan gradasi oranye di cakrawala. Clarissa menutup pintu kelasnya dengan wajah penuh keringat. Dirinya sedari pagi sibuk mengurusi konsumsi anak sekelasnya, walaupun mereka terlihat masih mampu untuk sekadar membeli air mineral di kantin. Sial!

KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...