Mentari telah kembali ke peraduannya kala sepasang kaki berbalut sandal jepit merah muda itu menginjakan kaki di pelataran penuh bunga iris. Beberapa tanaman itu sudah mulai layu, bahkan nyaris tak berdaya di atas tanah. Clarissa menghela napas sejenak, lalu kembali melangkah menuju pintu bercat cokelat beberapa meter dari sana.
Delmar menyusul Clarissa di belakangnya. Tangan laki-laki itu dipenuhi paper bag berisi baju milik gadis dengan surai panjang tersebut. Ia tidak berniat menyamai langkah meskipun Clarissa tampak ragu-ragu menggerakkan kakinya.
Sudah lima hari Clarissa menginap di rumah sakit. Selama itu juga pikiran Clarissa tak menentu. Darrel benar-benar menghilang sejak ia mengusir laki-laki itu. Bolehkah Clarissa merasa menyesal sekarang? Bagaimana jika Darrel memilih untuk pergi dari hidupnya?
Clarissa kembali menghentikan langkah karena pikirannya semakin rumit. Ia lelah sekali jika mengingat tentang beberapa hari lalu. Terlalu kalut dengan bayang-bayang tak tentu arah, Clarissa tidak menyadari bahwa pintu cokelat di depannya terbuka dari dalam.
"Clarissa! Kamu mau buat mama jantungan? Kenapa gak bilang kalau sakit?"
Buliran kristal di pelupuk mata yang sedari tadi mendesak keluar luruh juga kini. Clarissa berlari memeluk sosok wanita yang sangat ia rindukan. Liana, sang mama, Clarissa sungguh membutuhkan pelukan hangat darinya.
"Ma, Clarissa rindu Mama."
Liana mengelus surai legam sang putri. Dirinya menyesal baru dapat menemui Clarissa yang selalu ia larang untuk menemuinya.
"Kamu udah membaik?"Isakan pelan Clarissa menjadi jawaban dari segala pertanyaan sang mama. Liana bertanya tanpa suara pada Delmar yang baru saja mendekat. Laki-laki itu menggeleng sebagai jawaban, kemudian berpamitan setelah menyimpan tas yang ia bawa di atas meja tak jauh dari sana.
Delmar memilih bungkam akan apa yang terjadi antara Clarissa dan kekasihnya. Delmar menyembunyikan rahasia Darrel bukan untuk melindungi temannya. Laki-laki itu hanya takut melihat Clarissa semakin hancur. Namun, melihat selama setahun ini, Delmar yakin Clarissa akan lebih hancur suatu hari nanti.
Clarissa yang tersenyum karena melihat bunga-bunga yang ditanam gadis itu masih terekam jelas dalam benaknya. Clarissa yang berjalan riang kala pulang sembari membawa kantung kresek berisi jajanan dari luar. Clarissa yang marah jika kekasihnya berhasil mencuri atensi para gadis di sekolah.
Semua hal itu tak pernah luput dari pandangan Delmar, bahkan ketika terakhir kalinya ia melihat Clarissa tersenyum bersama Darrel.
"Dia baik-baik aja?"
Delmar berbalik ketika akan membuka pagar rumahnya. Sosok yang berdiri di depannya berantakan sekali. Kaus putih lusuh, bibir pucat, serta rambut yang tidak sepenuhnya ditata dengan benar. Mata laki-laki itu tampak memerah dengan kantung mata menghitam. Darrel sama berantakannya dengan Clarissa.
Bibir Darrel gemetar ketika akan mengutarakan kata-katanya. Namun, sebisa mungkin ia berusaha.
"Mar, Clarissa-"Suara pukulan keras terdengar nyaring di tengah sepinya area perumahan. Delmar menyeret tubuh Darrel untuk menjauh dari sana. Kepalan tangan Delmar mendarat kembali pada pipi pucat Darrel hingga laki-laki itu terhuyung sekarang, kemudian tersungkur ke tanah. Napas Delmar saling berkejaran, guratan amarah masih menguasai wajah yang memerah itu. Delmar bersiap memberikan pukulan kedua, tetapi Darrel berusaha terduduk dengan tatapan permohonannya.
"Gue gak peduli lagi sama lo! Tolong jangan libatin gue di antara kalian!"
Kali ini kepalan Delmar berhasil ditahan Darrel, meskipun tangan gemetar itu tampak kewalahan.
"Kalau gue udah keterlaluan, tolong bawa Clarissa pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
AM
Teen FictionKalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang sore itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hubungan. Kalau saja Darrel tidak membelikan Clarissa banyak bunga iris. Kalau saja Clarissa tidak memulai kembali. Mungkin mereka tidak akan...