#39 Talk

3.8K 363 13
                                    

Jennie masih terdiam di tempat,ia hanya berdiri dan merasakan jika cengkraman Jisoo semakin erat di tangannya. Wanita itu tak bergeming sedikit pun dan masih terdiam bukannya segera melakukan apa yang Jisoo suruh. Gemas, Jisoo segera menarik tubuh Jennie kembali ke dalam dekapannya dengan paksa, Jennie sempat terkesiap, perasaan sedih dan takutnya campur aduk, ia bahkan tak berani menatap Jisoo yang sedari tadi masih terpejam karena mengantuk.

Tangan suaminya itu memeluk Jennie erat, menyelimuti tubuh Jennie dan berusaha menghangatkannya. Terbuai oleh sikap Jisoo, Jennie hanya bisa menyembunyikan wajahnya di balik pelukan Jisoo, ia menangis sejadi-jadinya meski dalam diam dan perlahan air matanya membuat baju Jisoo menjadi basah.

"Aku tau kau tidak mau.." Jisoo akhirnya membuka pembicaraannya sambil tetap terpejam. Isak tangis Jennie membuat telinganya bising, kenapa istrinya itu harus menangis hanya karena sesuatu yang bisa saja ia tolak begitu saja. "Kau tinggal menolaknya dan sudah, masalah itu selesai.." Jisoo mengelus punggung Jennie dan perlahan membuat istrinya itu terdiam, ia berangsur tenang dan semakin erat membalas pelukan Jisoo. "Ya memang tidak semudah yang aku bicarakan, tapi sungguh, ini seperti drama yang sering Rose tonton. Jika temannya tak bisa memiliki anak lalu teman yang lain harus mendonorkan spermanya untuk temannya itu sungguh ini menggelikan sekali, dan aku tidak ingin hidup kita seperti drama itu Jennie-ya.." Jisoo terkekeh, ia menyeringai. "Jika Lisa bisa melakukan program untuknya kenapa aku harus ikut andil dalam keluarga mereka? Aku bahkan sudah menjauhi mereka sejak aku berkomitmen mengikat janji bersamamu di pernikahan kita." Racau Jisoo panjang lebar. "Jadi sebaiknya, kita dukung apa yang bisa kita lakukan pada mereka dan lupakan adegan drama konyol ini.." Tak ada jawaban dari Jennie, Jisoo menghembuskan napasnya kasar. "Ya sudah kau tidur saja, panjang lebar aku bicara ternyata kau malah tidur."

Selama Jisoo berceloteh ria, Jennie merasa itu adalah dongeng pengantar tidur untuknya sampai-sampai dia tak sadar sudah terlelap di pelukan suaminya itu dan membiarkan Jisoo berbicara sendiri.

***

"Nghhh.." Jennie menggeliat saat tubuhnya hanya seorang diri disana, tak ada Jisoo. Yang menjadi penghangatnya saat ini hanyalah selimut yang semalam ia pakai, laptop silver milik suaminya ternyata masih ada di meja, beserta ponselnya juga. "Kim Jisoo.." Panggil Jennie pelan sambil menyibakan selimut dari tubuhnya. Ia merasa matanya sangat sembab karena semalam ia habis menangis, Jennie perlahan berjalan ke kamar mandi, mencuci mukanya dan masih berusaha mengumpulkan nyawanya untuk mencari kemana Jisoo pergi.

"Lisa-ya.." Jisoo mencoba membangunkan Lisa yang masih pulas dengan tidurnya, kaki dan tangan panjangnya yang semakin tidak terkontrol posisinya bahkan tak bergerak sedikit pun. "Sudah pagi hei.. kau harus mandi!" Jisoo membangunkan Lisa dengan segala cara tapi sepupunya itu benar-benar tak mendengarkannya. Ia menyimpan bubur yang ia beli di meja dan menyiapkan segelas air untuk Lisa.

"Jisoo.." panggil Jennie dari ambang pintu.

"Hei, sayang.. sudah bangun? Aku membawakanmu sarapan." Jisoo kembali mematikan lampu kantornya, membiarkan Lisa kembali tidur dan menutup pintu kantornya.

"Dia tidak akan bersiap untuk kerja hari ini?" Jennie menggandeng tangan Jisoo dan meraih plastik bubur dari tangan Jisoo.

"Biarkan saja dia tidur dan bangun siang, mungkin dia memang kelelahan." Di pagi hari pada hari itu, Jisoo dan Jennie memulainya dengan adegan suap-suapan. Seperti tidak memiliki Jensoo, Jisoo sangat manja pada Jennie sama seperti dulu sebelum mereka menikah. "Oh iya, Jensoo dimana?" Jisoo menatap ke arah Jennie dan ia terlihat panik.

"Rose menjaga Jensoo di rumahnya, aku titipkan Jensoo sebelum aku pergi kesini kemarin." jawab Jennie santai.

"Hmmm.. begitu ya." Jisoo hanya mengangguk dengan mulut yang menggembung dan kembali mengunyah makanannya.

"Sayang.. Soal semalam.." Jennie tau Jisoo tak sedang menatapnya ia masih tetap mengunyah. "Aku serius.."

"Hmm.." Jennie kembali menyuapkan bubur itu lagi ke dalam mulut Jisoo.

"Apa kau mau? Apa kau tidak keberatan maksudku?" Jennie menyimpan mangkok bubur itu di meja dan menggenggam tangan Jisoo erat. "Sayang.." pintanya, tapi Jisoo tak menatap ke arahnya, ia menatap ke mangkok bubur di depannya.

"Aku tidak bisa." Jisoo bangkit berdiri dan mengambil botol minum di dekatnya.

"Kenapa?"

"Entahlah, aku tidak bisa saja. Kau ingat saat pertama kali kau memarahiku karena Rose menciumku di toko bunganya? Saat kau dan dia hampir bunuh-bunuhan dan aku yang jadi korban? Kau ingat betapa bencinya kau padanya? Lalu kenapa sekarang.."

"Sekarang kan sudah berubah, aku memaafkannya seperti kau menganggap Lisa biasa saja bukan seperti masa lalumu, memangnya salah jika aku memaafkannya?" potong Jennie cepat.

"Ya terus kenapa sekarang kau malah mau bersikap seperti itu? Apa yang kau janjikan padanya? Kau janji akan membantunya? Tidak Jen.." Tolak Jisoo kemudian ia menenggak air minum dari botol yang ia pegang.

"Jisoo-ya, tak banyak yang di butuhkannya. Kau masih punya cadangan besar yang bisa kau isikan ke rahimku, sedangkan untuknya? Hanya sedikit saja."

"Kenapa kau ini sangat keras kepala?" Suara Jisoo meninggi, selintas Jennie ingin menghentikan perdebatan mereka tapi ia masih mau membujuk suaminya untuk berkata iya.

"Bilang iya saja apa susahnya?"

"Kau mau aku bercinta dengannya? Baiklah." Jisoo keluar dari ruangan itu meninggalkan Jennie yang duduk terdiam.

"Jisoo-ya!!" teriaknya, tapi Jisoo tak kembali lagi. Jennie hendak menyusul kemana Jisoo pergi tapi ia hampir saja bertabrakan dengan suaminya itu yang sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih rapi dan membereskan laptop serta berkas-berkasnya. "Kau mau kemana? Kita belum selesai."

"Aku mau pulang. Kepalaku sakit jika disini." elaknya sambil memasukan laptopnya ke tas.

"Kau tidak harus bercinta dengannya." Jennie menarik-narik tangan Jisoo, tapi Jisoo tetap diam, ia sangat dingin dan seolah tidak peduli. "Lagi pula aku tidak ingin kau disentuh oleh orang lain."

"Terserahlah.."

"Kim Jisoo!!" Jennie berteriak tepat di samping telinganya, membuat Jisoo terkesiap dan menatapnya aneh.

"Kau tidak perlu berteriak di samping telingaku seperti itu."

"Jangan diamkan aku!!" rengeknya.

"Kita pulang saja, sepertinya kau mabuk." baru saja Jennie akan pergi, tapi yang mengajak pulang malah duduk manis lagi.

"Katanya mau pulang." Jennie berkacak pinggang, kepalang kesal dengan Jisoo.

"Buburnya belum habis, sayang kalau disisakan." ia menghabiskan sisa buburnya.

"Lisa sudah bangun?"

"Sudah, dia lagi makan juga. Nanti dia mau pulang. Biarkan saja kantor tanpa aku dan dia, aku pusing." Jennie duduk di samping Jisoo, bersandar padanya dengan lemas.

"Maafkan aku kalau aku memaksamu." Ia mencium pipi Jisoo dengan lembut berkali-kali tak peduli jika suaminya itu sedang makan.

"Ekheemm.." Lisa datang sambil membawa kotak makan rubah miliknya. "Kalian sudah mau pulang?"  muka bantal Lisa masih terlihat jelas, ia masih butuh tidur.

"Iya kami mau pulang, kau pulang saja, kau juga butuh tidur aku pun sama.." Jisoo mengambil tasnya dan menggandeng Jennie. Lisa pun mengangguk dan membiarkan Jisoo jalan duluan. "Lisa, we need to talk.." tatap Jisoo tajam.

***

Informasi!!

Jadi gini, aku kan beberapa hari ini ngeberisikin notif kalian sama re-publish You're Mine.
Sorry banget kalo berisik, tapi aku cuma buka private nya aja.

Jadi sistemnya adalah,
Aku bakalan re-publish Youre Mine. Terus aku tamatin cerita ini satu-satu.
Nanti jangan kecewa kalo aku unpublish lagi, karena mau aku re-publish buat di buka privatenya. Deadline tanggal 19 dari wattpad, dah DM"an kitaahh kekeke

Iya, aku unpublish buat buka privasinya aja bukan mau hiatus.

Tencu dah ngertiin, maaf kalo berisik.
Btw, next chap, cerita ini tamat.
😊😊

3 Step Closer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang