BAB 19

6.8K 496 9
                                    

ALLEN  sama sekali tidak mengatakan apa-apa bahkan setelah acara inti selesai dan digantikan oleh acara yang lebih santai.

Ajeea bingung, apa yang menyebabkan Allen berubah drastis seperti ini?

"Len, bilang dong kenapa?" Tanya Ajeea saat mereka berdua duduk di sebuah kursi yang memang disediakan untuk para tamu.

Roland sudah berjalan mengelilingi ballroom dan menyapa para tamu sementara musik mulai mengalun dan makanan-makanan mulai tersaji.

"Aku ambilin kado dari kakek kamu di mobil, ya." Ucap Allen namun Ajeea menahan lengan lelaki itu yang akan berdiri.

"Lupain itu. Kado bisa nyusul. Yang harus kamu lakuin sekarang itu, cerita ada apa sama kamu." Ucap Ajeea lembut.

Allen duduk kembali dan menatap wanita cantik di hadapannya ini. Ia memang membutuhkan Ajeea lebih dari apapun untuk berbagi kesedihannya saat ini, ia belum siap menggantikan posisi kakeknya, ia masih bahagia dengan pekerjaannya sebagai seorang chef.

Baru saja Allen akan membuka mulut, Ferri menghampiri mereka.

"Disini ya kalian." Ucap Ferri sambil duduk di kursi kosong meja itu yang berada di sebelah Ajeea.

Ajeea mengalihkan perhatiannya pada Ferri. "Abis dari mana, Fer? Kok kayak kecapean gitu?"

"Abis melarikan diri dari Reno." Jawab Ferri sebal.

Ajeea tertawa mendengarnya.

Allen menatap wanita yang ia cintai itu. Begitu cepatnya Ajeea mengalihkan perhatian darinya padahal ia sedang amat membutuhkan perhatian dari Ajeea.

Allen menghela napas, terkadang ia merasa lelah harus memahami sifat Ajeea yang bisa  dikatakan masih amat kekanak-kanakan karena ia tidak pernah melihat sekelilingnya.

Terkadang ia ingin dipahami, bukan hanya memahami Ajeea hanya agar wanita itu tetap bersamanya. Ia seperti laki-laki yang tidak berdaya padahal semestinya ia memiliki kendali akan wanitanya.

Allen memutuskan untuk pergi dari tempat ini, meninggalkan Ajeea dengan kebahagiaannya bersama orang lain.
***

Allen berjalan menyusuri lorong hotel, mengabaikan panggilan orang-orang dan panggilan kakeknya yang pasti ingin mengenalkan dirinya sebagai calon penerus kerajaan bisnisnya kepada sahabat-sahabatnya.

Ia sedang tidak ingin berkumpul dengan orang-orang.

Allen memasuki lift khusus dan menekan tombol tertinggi gedung ini. Ponselnya berdering saat ia keluar dari lift. Nama Ajeea tertera di layar ponselnya.

Lagi-lagi Allen menghela napas dan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana, kali ini ia harus mengabaikan wanitanya itu.

Allen berjalan menyusuri lorong panjang itu dan berbelok, melewati jalan yang jarang dilewati.

Ia berhenti di sebuah pintu berpelitur dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas dari sakunya. Ia menempelkan kartunya pada alat pendeteksi dan otomatis pintu berpelitur itu terbuka.

Suite room ini adalah hadiah dari kakeknya saat ia berusia tujuh belas. Ia biasa menghabiskan waktu di tempat ini jika rasa sedih akan ketidakadilan takdir sedang melanda dirinya. Tidak ada satupun orang yang tahu bahwa ternyata ada ruangan yang amat megah dibalik pintu itu. Bahkan mereka terkadang tidak menyadari keberadaan tempat ini.

Tempat ini begitu tenang dan jendelanya menghadap langsung ke perkotaan yang selalu terang dihiasi lampu dan dari tempat setinggi ini, lampu itu berubah menjadi titik-titik yang indah.

Ponselnya kembali berdering. Kali ini ada pesan masuk.

Kamu dimana? Kenapa aku di tinggal sendirian? Len, please tell me. Angkat telepon aku. Kamu buat aku khawatir.

Allen memejamkan matanya. Benarkah Ajeea khawatir terhadap dirinya atau gadis itu hanya khawatir karena ia tiba-tiba menghilang?

Ajeea kembali meneleponnya. Dengan helaan napas, Allen mengangkatnya. Seberapapun ia ingin sendiri, ia tak bisa mengabaikan Ajeea.

"Allen kamu dimana? Aku cari gak ada disini. Please kamu kenapa?" Ucap Ajeea di seberang sana.

"Maaf aku ninggalin kamu."

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan aku, Allen! Kamu dimana?" Teriak Ajeea.

Allen memejamkan matanya. "Tunggu disana. Aku jemput kamu." Ucapnya.
***

"Kamu kenapa, Allen? Jawab dong!"

Allen tidak menjawab, ia menutup pintu suite room  pribadinya itu. Sepanjang hidupnya, Ajeea lah orang lain yang ia ajak ke ruangan ini.

"Jawab aku!" Ucap Ajeea sambil menarik lengan Allen agar lelaki itu menghadapnya.

Allen menatap wajah Ajeea yang sudah memerah menahan emosinya. Perlahan ia melepaskan tangan Ajeea dan berjalan ke arah jendela raksasa yang memperlihatkan kesibukan kota Jakarta. Membelakangi Ajeea.

"Aku benci orang yang diem kayak pengecut." Desis Ajeea. Suaranya hampir-hampir tidak terdengar namun terdengar sangat tajam.

Perlahan Allen membalikkan tubuhnya dan menatap Ajeea dengan tatapan yang tak pernah Ajeea lihat.

"Apa semua hal harus sesuai dengan yang kamu mau, Jea?" Tanya Allen dingin.

Ajeea terdiam mendengar nada suara Allen.

"Apa aku juga harus jadi apa yang ada di pikiran kamu? Ajeea, pernah kamu cari tahu kenapa aku jadi gini?"

Ajeea masih diam.

"Apa kamu pernah tahu masalah dan beban apa yang ada di pundak aku? Enggak kan? Bahkan aku gak bisa dapet perhatian lebih dari kamu. Kamu langsung lupa sama aku waktu ada Ferri padahal kamu tau aku lagi kenapa-kenapa." Allen menghela napas.

"Aku gak bermaksud mengekang kamu. Tapi harusnya kamu tau siapa yang harus di prioritaskan. Aku enggak minta kamu setiap saat memprioritaskan aku. Aku cuma pengen kamu ada di saat-saat sulit aku. Jea, aku ini apa di mata kamu?

Aku capek sama kamu, Ajeea. Aku benar-benar mencintai kamu sampai aku jadi pengecut kayak sekarang. Aku capek harus selalu memahami kamu supaya kamu tetep nyaman ada di sebelah aku walaupun aku harusnya tau kalau disini cuma aku yang mencintai kamu.

Ajeea, semua hal gak selalu sama dengan apa yang kita mau.

Apa kamu tahu kalau aku gak pernah berniat meneruskan semua bisnis kakek? Bahwa aku cuma pengen jadi chef tapi di sisi lain, cuma aku yang kakek punya dan hidup aku memang sudah divonis untuk meneruskan semua yang kakek bangun.

Kamu pacar aku, Ajeea. Aku sudah menata masa depan dengan kamu. Aku pengen cerita semua beban aku ke kamu tapi kamu gak pernah mau nanya keadaan aku. Aku pengen berbagi sama kamu, aku pengen sesekali kamulah yang memahami aku.

Tapi semua hal memang mudah dalam hidup kamu, sampai-sampai kamu enggak pernah mengangkat kepala kamu dan lihat gimana kondisi aku."  Ucap Allen. Ia menatap wanitanya itu, perlahan ia mulai sadar dari amarahnya.

Apakah ia menyakiti hati Ajeea?

*Bersambung*

Ajeeallen's RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang