BAB 38

6K 419 2
                                    

FARRAHIA DARMANDIRA tiba di Jimbaran pada siang harinya. Ferri dan Fitri yang paham akan kondisi mereka yang butuh komunikasi dengan senang hati memberikan waktu berdua untuk mereka bicara dan mengatakan ingin melihat-lihat pantai Jimbaran.

"Kalau gitu, kita mau ke pantai aja kali, ya. Tante, Jea. Kita permisi dulu." Ucap Ferri diikuti oleh anggukan Fitri.

Farrahia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Take care ya." Jawab Farrahia. Ia memang sudah sangat mengenal dua sahabat Ajeea itu hingga tidak ada lagi kecanggungan diantara mereka.

Tepat saat dua orang keluar melalui pintu depan, Farrahia duduk di sofa yang menghadap ke arah Ajeea dan matanya  langsung tertuju pada putri bungsunya yang membaringkan tubuh di sofa panjang.

Ajeea terlihat amat kelelahan dan tubuhnya jauh lebih kurus. Meskipun perutnya sudah mulai membuncit, ia masih terlihat amat kecil di sofa itu.

"Begitu, ya Ajeea? Kamu sama sekali tidak mau membicarakan hal besar ini ke mama."

Ajeea diam dan tidak tahu apakah sekarang ibunya sedang bertanya atau menuduh.

"Ajeea enggak mau buat mama sedih. I'm out of league kan, ma?" Jawab Ajeea tanpa menatap ibunya.

"Mama tambah sedih karena ternyata kamu menyimpan rahasia ini dari mama, Ajeea."

Ajeea memainkan jemarinya tanpa berniat menjawab.

"Maaf ma.." ucap Ajeea pada akhirnya.

"Ajeea, bukan itu yang mau mama dengar. Mama enggak pernah menyesali apa yang sudah terjadi.  Yang mama pertanyakan, apa mama enggak penting di hidup kamu sampai kamu melakukan ini? Apa kamu benar-benar sudah memiliki hak penuh atas hidup kamu sampai-sampai enggak membutuhkan mama lagi?"

Rasa bersalah kembali merasuki hati Ajeea. Kali ini benar-benar tepat pada sasaran. Benar-benar membuat hatinya ngilu.

Ia tahu, seberapapun keras kepala dan egois dirinya, ibunya tidak pernah meninggalkannya. Ibunya selalu berada di tempat yang tepat untuk memperhatikannya.

Farrahia tetaplah ibu yang perhatian meskipun ia sering melewati batas dan sedikit mendikte kehidupan anak-anaknya.

"Maafin Ajeea, ma.." hanya itu yang bisa Ajeea ucapkan sekarang.

"Sekarang apa yang mau kamu lakukan? Nenek sudah memberi tahu kalau dia enggak keberatan meskipun harus membatalkan pernikahan Allen dan Afiya.

Kebahagiaan kamu jauh lebih penting dari apapun."

Meskipun hanya sedikit, meskipun hampir-hampir tak ia rasakan karena himpitan rasa bersalah kepada ibunya, hati Ajeea tetap menghangat ketika mendengar hal itu.

Mendengar Allen tidak jadi menikah dengan Afiya.

"Ajeea enggak peduli, ma. Toh Allen enggak memperjuangkan Ajeea. Dia enggak nyusul Ajeea sama sekali." Jawab Ajeea berusaha menghilangkan perasaan leganya. Ia sudah memantapkan hati untuk tidak akan lagi menoleh kepada Allen.

Allen sepertinya sama sekali tidak menginginkannya maka ia juga bisa melakukan hal yang lebih dari itu.

Sekali lagi, ia adalah Ajeea Milly Darmandira. Sebelum mengenal Allen, ia sama sekali tidak memiliki kesedihan.

"As you wish, right? Ajeea kamu sangat keras kepala dan sulit di tebak. Kenapa kamu mengharapkan kehadiran Allen sementara kamu melarang dia untuk datang ke sini? That's  Infantile, Ajeea. Allen mencintai kamu sampai-sampai dia rela mengikuti semua keinginan kamu meskipun dia juga tersiksa."

"..."

"Dia dalam keadaan yang terjepit juga, Ajeea. Kamu enggak bisa menyalahkan dia sepenuhnya.

Kamu yang enggak mau jujur dengan perasan kamu lah yang membuat semuanya runyam. Sebenarnya, kamu yang menyulitkan diri kamu sendiri."
***

Allen benar-benar menjadikan ruangannya sebagai tempat semedi. Ia bekerja tanpa kenal waktu dan hanya tidur jika ia ketiduran, saat ia benar-benar lelah dan tidak mampu melawan kantuknya.

Reno mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Pagi ini ia memang ingin mengecek keadaan sahabatnya itu.

Ia menghela napas sebelum memasuki ruangan Allen hanya untuk melihat sahabatnya yang sangat berbeda.

"Udah sarapan, lo?" Tanya Reno sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Allen. Yang di tanya hanya menggelengkan kepalanya tanpa mengalihkan fokus dari layar laptop.

Reno berdiri untuk merebut laptop milik  Allen dan meletakkannya ke meja yang berada di sudut ruangan.

Allen hanya menatapnya lelah saat ia kembali duduk di tempat semula.

"Kita harus bicara." Ucap Reno.

Setelah Reno mengucapkan hal itu, Allen terlihat akan menangis dan cepat-cepat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Reno menyadari betapa Allen mencintai Ajeea. Hampir sepuluh tahun bersahabat dengan Allen membuatnya tahu bagaimana sikap jujur dan berbohongnya Allen.

"Gue gak pernah secinta ini sama cewek selain sama Ajeea." Gumam Allen yang masih bisa Reno dengar.

Reno diam untuk mendengarkan kalimat selanjutnya.

"Bener, mungkin awalnya gue cuma tertarik sama dia karena dia cantik dan semua aspek dalam diri dia membuat gue tertarik sampai akhirnya gue beneran jatuh cinta dan dia buat gue jadi kayak gini. Dia berhasil buat gue enggak nafsu lihat cewek lain selain dia, Ren.

Apalagi ada anak gue di dalam perut dia tapi dia benci gue. Komplit kan penderitaan gue?

Tapi gue cuma bisa inget dia, seolah pandangan gue cuma buat dia.

Dia itu selamanya buat gue."

"Dan apa yang udah Lo lakuin untuk dia?" Tanya Reno berusaha membuka pikiran Allen yang tiba-tiba buntu dan seolah tidak tahu apa-apa tentang cinta. "Lo bilang dia selamanya buat lo, berarti gak ada yang lain, kan?"

Allen membuka tangannya dari wajah dan menghela napas. "Dia enggak mau gue cari."

Ingin sekali Reno memukul kepala Allen agar otaknya yang beku sedikit mencair.

"Lo kayak gak pernah tahu cewek sih, men? Kalo dia bilang A pasti pengennya B." Jawab Reno gemas.

"Gue gak mau buat dia risih. Gue mau dia tenang."

"Stupid banget lo. Jelas-jelas lo sudah tahu apa yang lo mau dan apa yang harus lo perjuangin. Bego emang lo.

Ferri sama Fitri lagi di Jimbaran untuk ngejenguk Ajeea dan Ferri bilang walaupun Ajeea gak cerita, tapi dia tahu kalau Ajeea butuh lo. Semua wanita hamil butuh orang yang udah menghamili dia untuk berada di sisi dia, bego!" Decak Reno.

Allen mengabaikan makian dan kata-kata kurang ajar yang dikeluarkan Reno. Yang ia tangkap hanyalah, mengapa Ajeea setengah mati melarangnya untuk datang sedangkan Ferri dan Fitri bisa datang menjenguknya?

Mengapa Ajeea sama sekali tidak berpikir bagaimana posisinya sekarang?

"Lo gak bisa salahin Ajeea karena sekarang Lo sama sekali enggak memperjuangkan dia.

Kalian juga gak bisa gini, gak bisa dengan you with your role and she is with her role. Lo berdua bisa di role yang sama dan lo harus berusaha. Gitu aja.

Go one better, bego!" Ucap Reno yang tidak tahan untuk tidak berteriak pada akhir kalimatnya karena kebodohan Allen yang membuatnya geleng-geleng kepala.

*Bersambung*

Pernah berada di posisi Ajeea yang pengennya ini, tapi ngomongnya itu.

Pengen mereka peka dengan apa yang kita mau tanpa kita kasih tahu but, dear. Realitanya, manusia biasa gak bisa tahu apa yang ada di pikiran manusia lain karena sifat perasaan itu cuma satu arah.

Ayo mulai berani untuk berkata jujur!

Love a lot,
INILAAAAMMM!🖤🖤

Ajeeallen's RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang