BAB 39

6.3K 392 2
                                        

TIGA hari berikutnya, Allen memutuskan untuk menemui Ariana Darmandira untuk membicarakan semuanya.

Meskipun terdengar tidak masuk akal, namun Reno benar-benar membuatnya sadar. Membuatnya sadar bahwa selama ini ia tidak melakukan apa-apa dan seharusnya melakukan sesuatu untuk hubungannya dengan Ajeea.

Seperti kata kakeknya, sebenarnya ia masih bisa memperbaiki semua ini. Ia harus bicara agar mendapatkan jalan keluar, ia harus mengungkapkan agar semua orang tahu apa yang ia dan Ajeea mau.

Ia sudah duduk di kursi yang sudah di  reservasi sebelumnya.

"Maaf jika saya membuat anda menunggu." Ucap seorang wanita membuat Allen mendongakkan kepalanya dan mendapati Ariana berdiri di hadapannya.

Allen tersenyum dan berdiri. "Silakan duduk, nyonya Darmandira." Ajak Allen.

Ariana menganggukkan kepalanya dan menggeser kursi lalu duduk.

"Jadi, ada hal apa hingga anda meminta saya datang kemari?" Tanya Ariana saat Allen sudah duduk kembali.

"Maaf jika saya mengganggu waktu anda, nyonya. Hari ini saya ingin bicara tentang hubungan saya dan cucu anda."

"Afiya?" Tanya Ariana yang sebetulnya sudah dapat menebak siapa yang Allen maksud namun ia pura-pura tidak tahu.

"Ajeea." Koreksi Allen. "Saya ingin mengungkapkan hubungan kami yang sudah jauh lebih dari sepasang kekasih."

Sesaat Ariana menunjukkan ketertarikannya, ia sedikit terpukau karena Allen berani mengucapkannya dengan gamblang.

"Saya yakin anda sudah tahu mengenai kehamilan Ajeea dan saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hal itu. Maaf karena baru hari ini saya menemui anda—"

"Saya sudah tahu semuanya, Allen." Potong Ariana membuat Allen mengangkat wajahnya.

"Apapun yang sudah dan akan anda katakan, semuanya sudah saya ketahui. Apa anda tahu? Setelah mengetahui semua itu, yang saya lakukan adalah menghitung tanggal. Saya memberikan anda waktu satu bulan untuk menemui saya dan memperjuangkan Ajeea."

"...."

"Karena, Allen. Meskipun anda adalah ayah dari bayi yang di kandung Ajeea, meskipun anda adalah pemilik Four Seasons, tapi saya tidak akan mau menyerahkan cucu saya kepada orang yang tidak mengharapkannya. Kalian sama sekali tidak melibatkan kami, bukan? Jadi kami hanya menunggu kalian berkata jujur." Jelas Ariana.

"Saya terlalu lama untuk memahami semuanya."

Ariana mengangguk untuk menyetujui perkataan Allen. "Saya paham akan posisi anda dan saya harap anda dapat mengambil pelajaran kalau semuanya harus diperbincangkan."

"Allen, saya sudah menyetujui hubungan kalian karena saya tidak memiliki pilihan lain. Kebahagiaan keluarga saya adalah yang terpenting.

Tapi, Allen. Meskipun saya sudah menyetujui, anda masih harus menghadapi cucu saya yang sangat keras kepala untuk meluluhkan hatinya lagi." Ucap Ariana sambil tersenyum.
***

"Junar, saya akan terbang ke Jimbaran sekarang. Saya harap tidak ada yang mengganggu perjalanan saya meskipun itu perwakilan dari Kanada sekalipun." Ucap Allen saat ia bicara dengan Junar di telepon.

"Baik, pak." Jawab Junar dari seberang sana.

Allen menutup sambungan telepon dan kembali fokus pada jalan. Ia baru saja selesai bertemu dengan Ariana dan berniat untuk terbang langsung ke Bali. Ia tidak ingin menunda lebih lama lagi.

Ia membenarkan perkataan Ferri waktu itu yang mengungkapkan kalau dirinya adalah orang yang paling menyedihkan ataupun makian Reno yang mengatakan kalau dirinya bodoh.

Ia memang bodoh. Ternyata menghadapi masalah tidak sesulit yang ia pikirkan. Ternyata, lebih baik menghadapi masalah daripada terus bersembunyi.
***
JIMBARAN, BALI.

Ferri dan Fitri sudah kembali ke Jakarta pagi tadi dan sekarang ia sendirian di apartemennya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Masih sangat siang untuk bertemu chef Bierre karena ia akan datang saat persiapan dinner.

Ia berjalan menuju kulkas dan tidak sengaja melewati cermin besar yang berada di sebelah kulkas.

Ia berhenti di cermin itu dan memperhatikan pantulan dirinya. Perlahan tangannya menyentuh perutnya yang mulai membesar dan tersenyum.

Jika di ingat-ingat, usia kandungannya sekarang sudah memasuki dua bulan dan ia teringat ucapan ibunya sebelum kembali ke Jakarta; Jea, jangan lupa untuk USG. Kamu harus memperhatikan perkembangan bayi kamu. Jangan lupa minum vitamin agar nutrisi bayi kamu tercukupi.

Apa ia harus memeriksakan kehamilannya?

Ia kembali berjalan ke.kursi di ruang tamu dan meraih ponselnya. Ia menelepon Risa.

"Hallo, Bu? Ada yang bisa saya bantu?"

"Risa, saya mau periksa kehamilan saya. Kira-kira, saya enggak ada schedule apa-apa kan siang ini?"

Risa terdiam sesaat dan Ajeea menunggu. Mungkin Risa Edang mengecek schedule nya.

"Enggak ada, Bu. Cuma nanti malem mau ketemu chef Bierre untuk inspeksi." Jawab Risa.

"Ya udah kalau gitu. Makasih ya."
***

Pukul dua siang ia sudah siap dan baru saja akan memasang sepatunya saat bel apartemennya berbunyi. Ia mengerutkan alisnya, siapa yang datang bertamu? Setahunya, tidak ada siapapun selain Risa yang ia kenal dekat di sini.

Ia melangkah dengan pelan, dalam hatinya ia merasa takut. Bagaimana jika seseorang yang entah siapa yang berada di balik pintu itu berniat jahat kepadanya?

Ketukan itu terdengar lagi, membuat Ajeea menghela napas dan memutar gagang pintu.

"Cari siap—" ucapannya terpotong saat ia melihat siapa yang berada di balik pintu itu.

Orang itu adalah orang yang lebih jahat daripada penjahat manapun.

"Ajeea.." panggil lelaki itu dengan suara lirih yang justru membuat hati Ajeea terasa berdenyut.

Mengapa? Mengapa dia datang? Mengapa Allen tiba-tiba berada di depan pintu apartemennya saat ia sudah mulai bisa berdamai dengan keadaan?

Disaat ia sudah mulai menyerah dengan kerinduan dan kebencian yang selalu berkecamuk dalam pikirannya?

Sementara Allen dapat melihat sirat wajah yang tidak pernah Allen lihat sebelumnya namun meskipun hanya sedikit, Allen dapat melihat raut kerinduan di wajah cantik itu.

"Ajeea apa kabar?" Tanya Allen kaku.

Ajeea menggigit bibir bawah bagian dalamnya untuk menahan perasaan yang tiba-tiba muncul untuk memeluk laki-laki jahat itu.

Lo gak boleh lemah, Ajeea. Kemana aja dia kemarin waktu kamu hampir kehilangan harapan?

Ajeea lalu mengeraskan ekspresinya.

"Pergi." Ucap Ajeea yang hanya berupa bisikan.

"Jea.."

Allen setuju dengan penuturan Ariana tadi kalau ia masih memiliki tugas untuk meluluhkan kembali hati Ajeea. Ia dapat melihat kebencian yang besar di mata Ajeea ketika memandanginya.

Membuat hatinya amat sakit,betapa ia sangat menyakiti Ajeea. Ajeea-nya, cintanya.

"Gue bilang, pergi."

"Please dengerin aku." Bujuk Allen yang tidak tahan melihat Ajeea yang sangat rapuh seperti sekarang.

Ajeea mengeratkan giginya, menahan desakan yang makin menjadi di kerongkongannya.

"Pergi!" Teriak Ajeea lalu di susul dengan tangis yang selama ini ia tahan.

*Bersambung*

Salam hangat sehangat mentari,
INILAAAAMMM🖤🖤

Ajeeallen's RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang