BAB 27

5.8K 419 1
                                    

ERREN tiba di Jimbaran pada pagi harinya dan langsung melesat ke Four Seasons resort. Ia meminta ajudannya untuk mencari tahu keberadaan Ajeea.

Meskipun ia dan adik-adiknya sangat sibuk semenjak menjadi dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing,  namun mereka tidak pernah tinggal berjauhan seperti sekarang.

Ia amat menyayangi adik-adiknya dan akan memastikan Afiya dan Ajeea tetap aman dimana pun mereka berada.

"Tuan, nona Ajeea sedang berada di Sundara. Ia bersama personal assistannya sedang bicara dengan executive chef disana." Ucap ajudannya.

Erren menganggukkan kepalanya dan keluar dari Ferrari kesayangannya.

Ia melangkahkan kakinya ke restoran yang dimaksudkan oleh ajudannya.

Dari kejauhan ia dapat mengenali sosok adiknya yang paling mencolok dari semua orang. Bukan karena pakaiannya, tapi karena sesuatu yang berada di dalam diri Ajeea. Adiknya itu terlihat sedang menikmati tehnya bersama seorang wanita yang ia kira adalah personal assistannya.

Erren duduk di kursi kosong yang terletak di meja Ajeea. Ajeea mendongakkan kepalanya dan tersenyum.

"Kakak!" Wanita itu langsung memeluk Erren.

"Kamu kelihatan pucat, Ajeea. Apa pemilik Four Seasons yang baru itu menyulitkan kamu?" Tanya Erren sambil memperhatikan Ajeea.

Ajeea mengedikkan bahunya. "Ajeea sehat kok, kak." Jawabnya menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya memang merasa pusing.

"Pemilik Four Seasons baru yang kakak maksud itu orang baik kok. Oh iya, kenalin kak ini Risa. Personal assistannya Jea, kak."

Erren melirik Risa sementara Risa menundukkan kepalanya.

"Salaman, dong." Pinta Ajeea.

Risa menaikkan pandangannya menyodorkan tangannya dengan gugup. Sebagai wanita normal, ia amat merasa gugup saat bertemu langsung dengan Erren Darmandira, seorang pengusaha muda tampan yang amat sukses di bisnis properti.

Erren membalas jabatan tangan Risa.

"Risa."

"Erren."

Beberapa saat mereka berdua terlihat canggung. Lalu Risa yang lebih dulu tersadar kalau tangan mereka masih tertaut pun melepaskannya.

"Kakak gak sibuk?" Tanya Ajeea sambil beberapa kali mengerjapkan matanya. Berusaha menghilangkan rasa pusing yang makin menjadi.

Erren menggelengkan kepalanya namun tangannya meraih ponselnya dan mulai sibuk dengan benda itu. Jawaban Erren berbeda dengan apa yang ia lakukan.

"Risa, kayaknya saya mau ke ruangan dulu." Ucap Ajeea pada akhirnya karena sekarang kepalanya benar-benar pusing.

"Bu, ibu kelihatan tambah pucat."

Ajeea tersenyum lemah dan menggelengkan kepalanya. "Kamu tunggu disini aja. Kak, Jea ke ruangan Jea dulu ya."

Ajeea berdiri dan merasa sudah kehilangan keseimbangannya namun ia masih melangkahkan kakinya yang memakai Stiletto kesayangannya.

"Jea, are you okay?" Tanya Erren memperhatikan Ajeea yang linglung.

Ajeea menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia kembali melangkahkan kakinya dan—

"Jea!" Teriak Erren saat melihat tubuh Ajeea akan terjatuh. Ia segera bangkit dan menyambar tubuh lemah adiknya.

Risa yang kaget langsung membantu Erren.

"Bu Ajeea? Yaampun, Bu?" Panggil Risa panik. Selama bekerja dengan Ajeea, tidak pernah sekalipun ia melihat bosnya seperti ini.

"Saya bunuh siapa yang buat adik saya seperti ini." Desis Erren sambil menggendong tubuh adiknya dengan sangat mudah.
***

Erren mengemudi mobilnya sendiri dan membawa mobilnya seperti kesetanan. Ia melesat membelah jalanan Jimbaran menuju ke rumah sakit terdekat.

Ia memarahi siapa saja yang menghalangi jalannya sementara Risa berlari mengikutinya dari belakang.

"Saya mau penanganan terbaik untuk Adik saya."   Teriak Erren pada salah satu staf rumah sakit Siloam. Ia memilih rumah sakit yang berada di Kuta itu karena dirinya memiliki saham besar di sana.

Staf rumah sakit itu langsung berdiri dan dengan cepat dapat mengenali siapa Erren dan siapa yang sedang ia gendong.

Dengan cepat mereka semua membawa Ajeea ke ruang UGD untuk mendapat penanganan pertama.

"Kami akan berusaha, pak." Ucap dokter kepala di rumah sakit itu. Erren benar-benar menciptakan keributan hingga dokter kepala turun ke sana.

"Memang itu yang saya inginkan. Jika terjadi apa-apa pada adik saya, saya akan menutup rumah sakit ini." Desis Erren.

Dokter kepala itu tercengang lalu menganggukkan kepalanya.

"Kami akan berikan yang terbaik." Janji dokter itu.
***

Perlahan Ajeea mulai bisa merasakan dirinya kembali. Rasa pusing langsung menyengatnya ketika ia mulai bisa mengingat dirinya. Ia dapat merasakan kalau slang oksigen terhubung di hidungnya.

"Jea?" Ajeea bisa mengenali suara itu. Itu milik Erren.

"Bu Jea? Kalau ibu bisa dengar saya, ibu buka mata, ya." Dan suara itu milik Risa.

Ia membuka matanya dan memandangi sekitarnya.

Ia ingat kalau dirinya baru saja pingsan. Maka ia tidak terkejut lagi saat hidungnya mencium bau antiseptik yang menyengat. Sekarang dirinya berada di rumah sakit.

"Masih pusing?" Tanya Erren berusaha bicara lembut namun sangat kontras dengan rahangnya yang mengeras.

Ajeea menganggukkan kepalanya. Ia tahu kalau sekarang kakaknya sedang marah.

"Jea cuma kecapekan, kak."

"I Will kill him, Ajeea." Jawab kakaknya lalu meninggalkan ruangannya begitu saja.

Mengapa? Mengapa kakaknya bersikap seperti itu? Dan apa maksud perkataannya tadi?

Erren tidak pernah meninggalkannya jika dirinya sedang sakit. Dan mengapa dia terlihat kesal?

"Bu Ajeea butuh sesuatu?" Tanya Risa.

Ajeea menggeleng. "Kenapa sama kakak saya, Ris?" Tanyanya.

Risa diam dan Ajeea memandangi wajahnya. "Kenapa kamu diem?"

"Bu.. tadi setelah dokter memeriksa ibu, dia—" Risa menghentikan ucapannya dan memandangi Ajeea.

Ajeea menunggu dengan tidak sabar.

"Saya kenapa, Risa?"

"Dokter bilang kalau ibu.. ibu.."

Ajeea mengerutkan alisnya. Apakah sekarang ia mengidap penyakit keras?

"Apa saya kena penyakit keras, Ris?"

Risa menggeleng dan menarik napasnya.

"Pak Erren seperti itu karena dokter bilang kalau ibu sedang  hamil." Tutur Risa.

*Bersambung*

Ajeeallen's RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang