JIMBARAN, BALI.
ARIANA DARMANDIRA benar-benar dibuat pusing dan bingung oleh tingkah laku cucunya yang sepertinya sama sekali tidak memiliki hasrat untuk hidup lagi.
Benar-benar bukan Ajeea yang selama ini ia kenali. Bukan Ajeea yang sangat percaya diri dan keras kepala. Bukan Ajeea yang menganggap semuanya adalah hal yang mudah dan tidak perlu dipikirkan.
"Ajeea." Panggil Ariana sambil menatap Ajeea dengan tatapan prihatin.
Cucunya itu sedang berbaring di sofa apartemennya dengan keadaan yang sangat lelah setelah seharian bekerja.
"Kalau kamu tidak makan, nenek akan meminta dokter untuk memasang infus ke tubuh kamu." Ucap neneknya.
Ajeea sama sekali tidak bergerak. Kian hari wajahnya kian pucat dan tubuhnya terlihat kurus karena janinnya membutuhkan asupan nutrisi dan sekarang pasti tubuhnya sedang menyalurkan semua yang tubuh Ajeea miliki ke janin itu.
"Mengapa kamu masih saja sangat egois, Ajeea? Sekarang kamu memiliki jiwa lain yang harus kamu pikirkan. Tidak bisa seperti ini." Bujuk neneknya.
"Tell me who is him and all Will be clearly. Nenek akan meminta dia bertanggung jawab. Pikirkan masa depan anak kamu, Ajeea. Meskipun nenek akan memastikan jika kalian tidak akan kekurangan satu apapun, tapi tidak semua hal bisa dibeli dengan uang."
Ariana menghela napasnya saat melihat Ajeea kembali menangis. Ia tahu di posisi seperti ini, dalam kondisi dimana emosi sangat amburadul, air mata sering jatuh secara tiba-tiba namun kebisuan Ajeea tentang siapa lelaki yang bertanggung jawab atas semua ini justru memperumit keadaan.
Ajeea masih sangat egois.
"Ajeea, mungkinlah kamu tidak ingin memberitahu siapa lelaki itu karena kamu membencinya. Tapi sekali lagi, kamu harus menekan ego kamu demi anak kamu, Ajeea.
Dia tidak salah dan tidak berhak mendapat imbas dari ego kalian. Dia tidak berhak mendapat kesedihan dengan tidak tahu siapa ayahnya."
***Jakarta.
Roland Suryandri berjalan mengikuti lorong koridor yang sudah sangat sepi karena sekarang para karyawan sudah beranjak pulang.
Ia memasuki ruangan yang pernah ia tempati hampir lebih dari separuh umurnya hanya untuk mendapati Allen yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.
"Kakek pensiun lebih awal dan meminta kamu menggantikan posisi ini lebih cepat agar. Kamu memiliki banyak waktu untuk belajar, Allen. Bukan karena harus melakukan segalanya dengan cepat."
Ia menatap cucu satu-satunya itu yang terlihat sangat berantakan dan bukan seperti Allen yang biasa tampil rapih.
"Jangan menjadi seperti kakek yang membuat bekerja sebagai pelarian dari kesedihan. Kamu tidak bisa melakukan itu karena kamu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki."
Allen memejamkan matanya dan mendapat rasa nyaman untuk beberapa saat. Ia baru menyadari jika ternyata dirinya mengantuk.
"Apa yang Allen harus pilih, kek?"
Roland tersenyum. "Kakek berterimakasih karena kamu masih memikirkan reputasi kakek di depan keluarga Darmandira dengan menerima pernikahan ini.
Tapi Allen, jangan membuat kakek merasa tambah bersalah kepadamu. Kakek hanyalah lelaki tua dan kamu masih memiliki masa depan. Pergi dan jemput cintamu."
Allen menggelengkan kepalanya. Selama ini ia sangat menghormati kakeknya dan tidak bisa melihat lelaki tua itu harus menanggung malu di depan keluarga Darmandira karena tidak menepati janjinya.
Kakeknya bukanlah lelaki tua yang tidak bisa apa-apa. Kakeknya adalah orang yang sangat ia hormati.
"Allen pasti bisa menemukan jalan keluar untuk Maslah ini tanpa menyakiti siapapun, kek."
"Sekali lagi, Allen. Jangan buat kakek menderita dengan terus berhutang budi denganmu."
***Rumah utama keluarga Darmandira terlihat lebih tegang dari biasanya. Pada malam harinya, Ariana memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan mengumpulkan keluarga Garen karena ia baru mengetahui sesuatu.
"Sepertinya keluarga ini sudah jarang berkomunikasi. Kita memiliki informasi yang harusnya bisa menjawab sebuah pertanyaan." Tutur Ariana yang sudah selesai dengan makan malamnya.
Farrahia, Erren dan Afiya yang juga sudah selelsai dengan makanan mereka hanya bisa menatap bingung ke arahnya. Hanya Arold dan Garen yang tidak ada di acara ini karena mereka sedang berada di luar kota.
"Afiya, apa kamu mau menerima pernikahanmu dengan Allen?" Tanya Ariana.
Afiya mengerutkan alisnya dan segera menggelengkan kepalanya. "Tidak, nek. Afiya sama sekali tidak mengenal dia." Jawab Afiya.
Mata Ariana beralih pada Farrahia.
"Farrahia, apa kamu mengetahui hubungan Allen dengan Ajeea?" Tanya Ariana.
"Tahu, ma."
"Dan terakhir. Erren, mengapa kamu menyembunyikan kehamilan Ajeea dari semua orang termasuk nenek? Beruntung nenek memiliki sumber yang bisa memberitahu nenek."
"That's complicated." Lanjut Ariana.
Ia melihat menantu dan cucunya saling pandang karena baru mengetahui segalanya dari masing-masing.
Farrahia yang terkejut mendengar Ajeea hamil, Afiya yang terlihat bersalah karena Ajeea adalah kekasih Allen dan Erren yang tampak bingung karena ternyata semua hal segamblang itu.
"Saya baru saja mendapat kabar yang bisa menjadi penyambung semua pertanyaan kalian. Apa kalian tahu siapa ayah dari janin Ajeea? Allen. Lelaki itu adalah Allen."
Mata ketiganya membulat karena mendengar penuturan Ariana.
"Ya. Semua terjawab, bukan? Sepertinya keluarga kita butuh waktu yang lebih banyak untuk bicara."
"Allen Suryandri?" Tanya Erren yang seolah sedang mengulangi pernyataan neneknya untuk membuktikan apa yang baru saja ia dengar.
"Ya, Erren. Allen Suryandri pemilik Four Seasons di Jakarta dan Jimbaran." Jawab neneknya.
"Kenapa Ajeea enggak bicara sama saya?" Tanya Farrahia terlebih pada dirinya sendiri.
Ia terlihat sangat terpukul membayangkan Ajeea yang jauh sedang bersedih sendirian.
"Sudah mama katakan that's complicated. Dan menjadi lebih rumit lagi karena apa yang kita semua lakukan. Berjalan sendiri dengan informasi masing-masing. Kita tidak bisa menyalahkan Ajeea maupun Allen. Mereka saling jatuh cinta dan itu membuat mereka buta. Mereka tidak tahu jika semuanya sudah salah dari awal."
Tiga orang di hadapannya diam berusaha beradaptasi dengan kenyataan yang baru mereka dapatkan.
*Bersambung*
INILAAAAMMM💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajeeallen's Role
RomanceAjeea Milly Darmandira tidak pernah memiliki pemahaman tentang konsep pernikahan. Namun bukan berarti ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki. Ia hanya tidak mengerti bagaimana bisa seseorang memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang ia...