KATA-KATA Allen seolah menjadi belati yang menyayat hati Ajeea. Setiap kalimat yang diucapkan Allen membuka semua ruas dalam pikirannya.
Ia memang tak pernah bertanya bagaimana keadaan Allen. Ia terlalu fokus pada dirinya sendiri dan selalu berpikir jika Allen akan selalu ada untuknya sampai ia melupakan kalau Allen juga membutuhkannya.
"Aku kecewa waktu kamu langsung mengalihkan perhatian kamu ke Ferri." Lanjut Allen.
Perasaan bersalah yang baru dirasakan Ajeea menghilang seketika. Mengapa Allen begitu mengekangnya?
Ajeea tidak pernah marah jika Allen cemburu terhadap lelaki lain, tapi Ferri? Dia adalah seorang wanita dan sahabatnya. Apa yang harus di khawatirkan?
"Asal kamu tau ya, Ferri itu sahabat aku. Jangan ganggu hal itu. Jauh sebelum kamu Dateng, aku udah kenal lebih dulu sama sahabat aku!"
Harusnya Allen merasa sakit hati karena ucapan Ajeea. Allen benar-benar tidak berarti apa-apa di mata wanitanya. Tapi tidak, lagi-lagi Allen sama sekali tidak merasakan sakit hati karena ulah wanita itu.
Awalnya ia mengira jika Ajeea mengerti apa yang ia maksud namun ternyata salah. Ajeea sama sekali tidak mengerti.
"Bukan gitu maksud aku, Ajeea. Aku cuma mau kamu kasih sedikit perhatian kamu ke aku. Aku juga butuh kamu, Ajeea. Melebihi apapun." Jawab Allen.
"Aku gak suka ya kalau kamu mulai posesif gini. Ferri itu sahabat aku, Allen!" Teriak Ajeea menatap wajah Allen dengan amarahnya.
Allen kembali menghela napasnya, sekarang ia lebih sering menghela napas, berharap emosinya selalu stabil. Tidak terpancing amarah Ajeea.
Bagaimanapun, ia harus lebih dewasa.
Sabar, Len. Ucap suara hatinya.
"Sekarang aku tanya, aku ini siapa kamu?" Tanya Allen berusaha sabar dan mengontrol nada dalam suaranya. Ia tidak boleh terpancing emosi.
"Kamu pacar aku. Puas kamu? Tapi bukan berarti kamu bisa ngatur-ngatur aku ya!" Jawab Ajeea lalu membalikkan tubuhnya. Menuju ke pintu keluar.
"Kamu mau kemana?"
"Aku mau pulang!"
Allen menghembuskan napasnya dan memejamkan matanya. Ia tidak bisa seperti ini. Ajeea masih terlalu keras kepala dan jika ia membiarkan Ajeea pergi, masalahnya akan semakin rumit.
Ia harus kembali menekan egonya demi kebaikan hubungan mereka.
Ia harus menjelaskan maksudnya tanpa menyinggung garis kehidupan Ajeea. Ia belum terlalu berpengaruh dalam hidup gadis itu. Itulah masalahnya.
"Kita gak bisa gini. Tetep di sini, Ajeea. Kita selesain masalah disini." Perintah Allen membuat Ajeea berhenti di tempatnya.
Allen melangkahkan kakinya mendekati Ajeea dan menyentuh bahu gadis itu, menarik tubuhnya agar mereka berhadapan.
"Maaf kalau aku marah-marah sama kamu. Aku rasa kamu gak ngerti dengan maksud dari ucapan aku.
Jea, apa aku pernah melarang kamu dengan segala rutinitas pekerjaan kamu? Apa aku pernah melarang kamu hang out sama sahabat kamu? Apa aku pernah marah waktu kamu ketemu cowok dari divisi lain yang cuma cari alasan untuk bicara sama kamu?
Jawabannya gak pernah. Selama ini, Jea. Aku cuma punya sedikit waktu di hari kamu. Aku yang harus berusaha mencuri waktu makan siang biar kita bisa ketemu, kan?
Aku ngerasa, dengan memberi kamu ruang pribadi, kamu akan nyaman sama aku. kamu gak suka di kekang, kan? Tapi ternyata aku jadi tersisihkan karena hal itu.
Aku cuma minta kamu anggap aku ada, Ajeea. Tapi kalau itu ganggu kamu, aku gak akan maksa. Aku gak mau buat kamu terganggu. Aku cinta sama kamu." Jelas Allen.
Lelaki itu berusaha mencari mata Ajeea, namun Ajeea sama sekali tidak menatap matanya.
Rasa dilema kembali menghinggapi hati Ajeea. Ia tahu maksud dari ucapan Allen namun ia masih takut untuk jatuh terlalu dalam pada Allen. Ia takut jika nanti ia akan bergantung pada lelaki itu, yang entah kapan pasti akan meninggalkannya.
Tapi setelah mendengar ucapan terakhir Allen, hatinya menghangat. Begitu seriusnya Allen kepadanya, hingga Allen lagi-lagi harus bersabar menghadapi dirinya.
Pembuktian apa lagi yang harus di buktikan jika pada dasarnya, hati Ajeea telah percaya pada Allen?
"Maafin aku, Len." Isak Ajeea.
"Aku bener-bener egois. Aku sama sekali gak mikirin perasaan kamu." Lanjut gadis itu.
Allen langsung merengkuh tubuh wanita yang ia cintai itu. Perlu waktu yang lebih lama lagi untuk memahami sifat Ajeea.
"Dan ini.." ucap Ajeea saat Allen melepas pelukannya. Ia menarik cincin yang tadi Allen berikan di jari manisnya.
"Makasih sudah mau pakai ini." Jawab Allen.
"Aku mau kamu lamar aku sekarang, Len. Aku tau ini telat banget. Aku baru sadar semua pengorbanan kamu demi ego yang selalu aku letakkan di atas perasaan aku."
Allen menatap gadis itu dan dengan bersemangat mengambil cincin dari tangan Ajeea.
Rasanya ada jutaan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. Tanpa ia duga, tanpa ia sangka akhirnya Ajeea menginginkannya. Menginginkan sebuah lamaran darinya.
Ia berjongkok di hadapan Ajeea dan menarik tangan kirinya.
"Ajeea aku gak punya kalimat romantis, tapi rasanya semua kalimat itu gak penting sekarang. Ajeea, apa kamu mau terima lamaran aku, dan menikah dengan aku?"
"Iya, kamu udah tau jawabannya, Allen." Jawab Ajeea.
Allen langsung memasukkan cincin ke jari manis Ajeea dan segera berdiri.
Lama sekali mereka saling bertatapan. Rasanya, Ajeea berjuta kali lebih menawan setelah ia memberikan tanda kalau Ajeea adalah miliknya di jari manis gadis itu.
Perlahan Allen mendekatkan wajahnya ke wajah Ajeea dan menyatukan dahi mereka. Ajeea memejamkan matanya, meresapi sebuah perasaan baru yang hadir dalam hatinya.
Cincin itu terasa lebih berat dari sebelumnya dan ia merasa lebih bahagia karenanya.
"I love you, Ajeea."
"Love you too, Allen." Jawab Ajeea.
*Bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajeeallen's Role
RomantizmAjeea Milly Darmandira tidak pernah memiliki pemahaman tentang konsep pernikahan. Namun bukan berarti ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki. Ia hanya tidak mengerti bagaimana bisa seseorang memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang ia...