Buk! Terdengar sesuatu menimpa sesuatu.
Astaga..
***Ajeea memejamkan matanya tatkala ia menabrak sesuatu dan hampir-hampir ia akan jatuh ke belakang jika saja tidak ada tangan yang memeganginya. Ia pernah membaca artikel betapa fatalnya terjatuh dengan toe pump shoes 17 cm yang sedang kau kenakan.
Allen memandangi wajah cantik Ajeea yang tengah memejamkan mata di lengannya. Ia bukannya tak pernah mengenal wanita yang memiliki paras cantik, bahkan ia sering melakukan hal yang di sebut tabu dalam sebuah hubungan namun entah mengapa, ia seperti tak mampu berkedip ketika melihat wajah Ajeea.
"Gilaaa ini. Gue baper banget ngeliatnya." Allen mendengar bisik-bisik mulai memenuhi seisi ruangan.
"Hei, you have fine." Ucapnya pelan.
Perlahan Ajeea membuka matanya dan mendapati dirinya tidak jadi terjatuh. Cepat-cepat ia berdiri. Untung saja ia tidak terjatuh dan mengalami cidera berat seperti berita yang pernah ia baca.
"Thank's ya. Gue gak bisa bayangin kalau gue jatuh dengan sepatu setinggi ini." Ucap Ajeea sambil tersenyum dengan tulus.
Astaga.. batin Allen. Ajeea mengkhawatirkan akibat dari jika ia terjatuh dengan sepatunya daripada mengkhawatirkan jika ia jatuh, ia akan di tertawai oleh orang yang memperhatikannya.
Jenis wanita yang jarang sekali. Tipikal wanita yang lebih mementingkan keselamatannya daripada gosip mengenai dirinya.
"Hal sepele kadang bisa bikin bahaya. Jangan main hp kalau lagi jalan ya, Bu Ajeea." Ucap Allen sopan. Ia tahu dari pengamatannya, Ajeea masih terbilang muda namun ia menghormati jabatan yang ia pegang.
"Sekali lagi terimakasih ya Chef Allen."
"Never mind. Mau saya antar?" Tawarnya. Astaga Allen, kenapa Lo jadi menawarkan diri untuk nganterin dia?
"Oh no, Thank's I'm fine. Makasih atas tawarannya. Saya permisi dulu ya, chef." Jawab Ajeea meninggalkan Allen yang masih memandangi punggungnya yang mulai menjauh.
Ia tersenyum kecil, baru kali ini ia merasa salah tingkah di depan perempuan.
***Allen mengetuk pintu berpelitur itu dan menunggu beberapa saat. Suasana di ruangan ini jauh berbeda dari bagian manapun di Four Seasons. Disni lebih tenang, jauh dari keramaian para pengunjung hotel.
"Masuk." Jawab seseorang dari dalam sana dan Allen membuka pintu itu.
"Duduk, Allen." Ucap kakeknya.
Roland Suryandri menatap cucu sematawayangnya itu. Gurat di wajahnya menandakan kalau ia sudah sangat tua namun ia masih memiliki kemauan untuk bekerja.
"Kek, kalau sudah capek ya berhenti bekerja. Kakek akan tetap dapat uang walaupun kakek enggak kerja lagi." Dengus Allen karena kakeknya ini amat gila bekerja.
"Kakek akan cepat mati kalau berdiam diri di rumah, Allen." Jawab kakeknya. Kakeknya selalu hangat dan penuh dengan tawa.
"Ada apa kek?"
Roland tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah cucunya selama beberapa saat, "Allen, kakek sudah tua, ya?" Tanyanya namun sepertinya ia tidak menunggu jawaban dari Allen karena ia langsung melanjutkan ucapannya.
"Kakek sudah tua dan hanya kamu keluarga yang kakek punya. Miris sekali bukan? Semua orang menganggap kakek adalah lelaki tua yang amat bahagia dan bergelimang harta.
Tapi itu hanya sebuah opsi dari orang luar. Mereka tidak tahu apa yang kakek rasa. Sebenarnya dulu ketika nenekmu meninggal, bisa saja kakek menikah lagi namun kakek amat mencintai nenek kamu, bahkan setelah ketidakadaannya pun kakek tidak mau mencari penggantinya.
Lalu orang tuamu meninggal saat usiamu masih sepuluh tahun. Kakek hanya memiliki satu putra dan itu ayahmu. Satu lagi pukulan untuk kakek. Kakek langsung kehilangan dua orang sekaligus tapi kakek bersyukur karena masih di berikan satu Suryandri kecil. Yaitu kamu, Allen. Semua orang tidak tahu bagaimana rasanya.
Kakek berharap banyak kepada kamu. Allen, sebentar lagi kakek pasti akan pensiun dan mau tidak mau kamu harus menggantikan kakek di bisnis-bisnis yang kakek jalankan. Kakek mohon kamu harus meneruskan semua yang sudah kakek bangun." Tutur Roland.
Allen diam, ia tahu semuanya. Ia tahu betapa tersiksanya sang kakek karena kehilangan hampir semua orang penting dalam hidupnya dan Allen tahu mengapa hingga sekarang, kakeknya masih gigih bekerja.
Bukan uang yang ia kejar, bukan. Kakeknya tidak memerlukan harta dunia lagi karena semua yang ia punya sudah lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Kakeknya masih gigih bekerja hingga kini karena bentuk pelariannya akan perasaan sepi yang selalu ia rasakan.
Kakeknya mengalihkan rasa sedihnya dengan bekerja hingga terkadang ia lupa pada waktu.
"Kek, Allen bersedia meneruskan segala bisnis kakek." Jawab Allen. Ia tidak memiliki pilihan. Seperti yang kakeknya katakan, hanya dirinya satu-satunya Suryandri yang tersisa setelah sang kakek.
"Kakek tahu, Allen. Kakek tahu. Tapi maksud kakek, kamu harus memberikan kakek penerus setelah kamu. Kamu harus menikah. Usiamu sudah hampir tiga puluh tahun, Allen."
Allen kembali terdiam. Benar, dua tahun lagi usianya akan menginjak tiga puluh namun ia sama sekali belum memikirkan untuk menikah. Ia belum mendapatkan wanita yang tepat, lebih jelasnya.
"Allen lagi berusaha mencari, kek. Allen mau wanita yang benar-benar baik dan Allen cintai." Jawab Allen pada kakeknya.
"Allen.."
"Kakek harus percaya dengan Allen. Allen akan mencari yang terbaik, kek. Kakek pasti tahu kalau Allen tidak ingin sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan Allen." Jawab Allen tegas. Ia sudah tahu akan bermuara ke mana pembicaraan ini.
Ia tahu kalau kakeknya akan mengatakan kalau ia akan di jodohkan dengan seseorang. Ia benci perjodohan, ia akan mencari wanitanya sendiri.
***Sudah pukul sembilan malam saat Ajeea mendongakkan kepalanya dari layar laptop.
"Yaampun udah jam segini." Decak Ajeea.
Tadinya ia ingin bekerja sampai pukul tujuh saja, namun ternyata ia benar-benar lupa waktu.
"Risa, bisa ke ruangan saya?" Ucapnya dari sambungan interkom dan tak lama, Risa masuk ke ruangannya.
"Risa, tolong beresin meja saya, ya. Saya mau ganti baju dulu. Saya lupa waktu." Ucap Ajeea lalu mengambil bajunya di loker. Ia berlari ke toilet pribadinya.
Saat di dalam ruangan, Ajeea selalu mengganti sepatu tingginya dengan sandal rumah. Itulah yang membuatnya lincah jika di ruangannya.
Sepuluh menit kemudian, ia sudah berada di lift untuk turun ke lobby dan menuju parkiran.
Selama menunggu pintu lift membuka, ia mengecek ponsel yang sengaja tidak ia suarakan. Sudah banyak sekali panggilan tak terjawab dari ibunya dan rasa bersalah menghantam dirinya.
Cepat-cepat ia menelepon ibunya.
"Ma? Maaf ya ma Ajeea lupa waktu. Ajeea gak nyangka pas lihat jam ternyata sudah jam sembilan." Ucap Ajeea saat ibunya menerima panggilannya.
"Mama khawatri, Ajeea. Cepat pulang ya."
"Iya ma." Jawab Ajeea.
Saat itu, pintu lift membuka dan ia segera masuk ke dalamnya. Ajeea menyandarkan dirinya ke dinding lift dan menghembuskan napas. Ia lelah tapi ia bahagia. Mungkin beginilah rasanya bekerja sesuai kemauan sendiri.
Dinding di hadapannya terbuat dari kaca dan ia memandangi dirinya sendiri di cermin besar itu. Ia melihat toe pump shoes merah yang ia kenakan dan ingatan akan dirinya yang hampir jatuh jika tidak di selamatkan oleh chef Allen pun terulang di ingatannya.
Untung sekali chef Allen membantunya. Jika tidak, pasti sekarang ia sedang di rawat intensif di rumah sakit karena cidera di tulang ekor Karena terjatuh sendiri.
Jika ada kesempatan, ia akan berterimakasih lagi pada Allen.
*Bersambung*
Ikutin terus ya♥️💞
Kalau udah baca, klik bintangnya dong. Buat penyemangat.😍IN

KAMU SEDANG MEMBACA
Ajeeallen's Role
RomanceAjeea Milly Darmandira tidak pernah memiliki pemahaman tentang konsep pernikahan. Namun bukan berarti ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki. Ia hanya tidak mengerti bagaimana bisa seseorang memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang ia...