Lima tahun yang lalu..
"Aku lagi nunggu surat dari kantor pos, kak." Ucap seorang gadis bernama Ajeea Milly Darmandira yang saat itu berusia 18 tahun, yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
"Dek, memangnya kamu serius mau pilih jurusan itu? Mama bakalan marah banget sama kamu karena setahu semua orang, kamu pilih kedokteran umum like I've chose." Ucap kakak perempuannya—Afiya Zhura Darmandira dari seberang sana.
Ajeea mendesah pelan mendengar ucapan kakaknya yang sedang menempuh pendidikan kedokteran umum semester akhir—nya di Universitas Indonesia, Jakarta.
"And is that your choice?" Tanya Ajeea.
"Dek, dengerin kakak ya. Mama bakalan marah besar sama kamu karena kamu mengambil keputusan sendiri." Afiya memilih untuk tidak menjawab pertanyaan adiknya itu.
Sementara Ajeea tersenyum miris, ia tahu apa jawaban dari pertanyaannya tadi. Itu bukanlah pilihan Afiya melainkan pilihan ibunya.
Hidup di tengah keluarga seperti ini memang membingungkan dan selalu memiliki dua sisi. Dari kacamata luar, semua orang mendambakan kehidupan seperti mereka, menjadi bagian dari Darmandira yang tanpa sepengetahuan mereka justru anggota keluarga ini sangat terbebani oleh nama belakang mereka.
Nyonya Farrahia Darmandira sejujurnya amat menyayangi tiga anaknya hingga terkadang ia melewati garis kehidupan pribadi anak-anak nya hanya untuk memastikan mereka memiliki masa depan yang cerah seperti sekarang, ia mendikte kepada anak mereka bahwa mereka akan menjadi apa yang ia mau.
Afiya terlalu tunduk dan taat pada keputusan ibu mereka, hingga membuatnya mengikuti keinginannya.
"Aku gak bisa kayak gitu terus kak. Aku gak bisa." Ucap Ajeea pada akhirnya.
Sejak dulu ia selalu mengikuti kemauan ibunya, namun tidak untuk sekarang karena ia merasa sudah siap menentukan jalannya sendiri.
Terkadang kita perlu memberontak untuk mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan.
***"Apa ini Jea?" Tanya Farrahia pada anak bungsunya itu.
Ajeea terperanjat dari kursi belajarnya karena tiba-tiba ibunya memasuki kamar dan berkata demikian.
"Apa ma?" Tanya Ajeea karena ia belum pulih dari keterkejutannya.
"Apa ini?" Ibunya masih berkata demikian. Ajeea memandangi ibunya yang masih tampak muda meskipun sudah berusia pertengahan empat puluhan.
Mata Ajeea melihat apa yang ibunya pegang. Otak cerdasnya langsung mencerna apakah isi dari kertas itu dan matanya membelalak.
"Apa itu surat dari PTN, ma?" Tanya Ajeea.
Harusnya tidak seperti ini. Harusnya ia sendirilah yang menerima surat itu dan mengumpulkan keberanian untuk bicara pada keluarganya mengenai keputusan yang ia ambil.
Semuanya terjadi begitu cepat bahkan ia belum memikirkan kalimat yang ia rasa bisa membuat semua orang mengerti.
"Ya dan kamu memilih jurusan yang salah." Ucap ibunya sambil mendekati nya.
"Enggak salah kok ma.." otaknya mencoba merangkai kata-kata namun secepat ia merangkai, secepat itu pula semuanya buyar.
Kalian tidak akan bisa berpikir jernih jika seorang Farrahia Darmandira sedang berada di jarak yang sedekat itu, dan begitu mengintimidasi kalian.
Tapi bagaimanapun hal ini pasti akan terjadi dan ketidaksiapan takkan menjadi penghalang. Ia harus siap bahkan jika harus datang lebih cepat dari yang ia duga.
"Salah, Ajeea." Ucap ibunya tenang namun tegas. "Mama kemarin bilang kalau kamu akan memilih fakultas kedokteran." Kini ada nada mendominasi dalam suara ibunya.
"Ya tapi itu bukan minat Jea, ma. " Jawab Ajeea. Jika kalian menanyakan eksistensi ayahnya, jawabannya adalah, ayahnya menyerahkan seluruh tanggung jawab dalam urusan rumah kepada ibunya dan urusan anak termasuk di dalamnya.
Namun Garen Darmandira adalah sosok ayah yang penyayang, mereka tak pernah kehilangan sosok ayah darinya.
Ibunya duduk di sisi kasur miliknya dan menatap Ajeea sesaat. Ia tahu hal ini akan terjadi karena di antara semua anaknya, Ajeea lah yang memiliki sifat paling keras dan sulit di atur.
"Mama tidak melihat masa depan kamu dari jurusan yang kamu ambil, Ajeea."
"Ini pilihan Ajeea, ma. Ajeea yakin bakalan besar dari jurusan yang Ajeea ambil." Ajeea berusaha tenang. Ia akan berusaha membuat ibunya mengerti.
"Apa yang bisa kamu banggakan dari jurusan manajemen hospitality?"
Ya, apa yang bisa ia lakukan dengan jurusan ini? Pikirnya karena sesungguhnya ia tak tahu apa yang akan ia ambil untuk kuliah nanti.
Sebenarnya ini hanyalah cara Ajeea untuk mengatakan pada ibunya jika ia tak ingin melakukan apa yang tak ingin ia lakukan.
"Kamu harus ikut SNMPTN dan memilih jurusan kedokteran seperti Afiya."
"Ma sampai kapan mama terus mendikte hidup Jea? Jea bukan Afiya ataupun Eren yang mau aja nurutin kemauan mama!" Kini Ajeea mulai marah pada ibunya.
"Dan lihat mereka, apa mereka kesulitan dengan pilihan mama? Eren—kakak pertama kamu sudah sukses dengan bisnisnya dan afiya—kakak kedua kamu sudah hampir selesai dan akan menjadi dokter. Apa mereka kesulitan?" Tanya ibunya tenang.
Megapa ibunya tidak seperti ibu lain yang mendukung dsn mengikuti keinginan anaknya?
Ajeea diam. Ia memang selalu kalah dengan ibunya.
"Mama mau Jea ikut SBMPTN atau Jea pilih fakultas kedokteran?" Tanya Ajeea pada akhirnya.
"Both, Jea. Mama mau kamu ikut SBMPTN dan pilih fakultas kedokteran."
*Bersambung*
HALOOO!
Sebenarnya ini bukan cerita sebagus cerita-cerita lainnya. Cuma sebuah kisah antara dua insan yang saling mencintai. Cerita ini memang beralur lambat, supaya bisa diresapi pelan-pelan *cielah.Ikuti terus ceritanya ya. Karena kita gak bisa menilai sesuatu dari awalnya aja. Ada sebuah perjalanan untuk sampai akhir yang bahagia, kan?
Kalau udah baca, jangan lupa vomment yaaaaaa! That's main booster!♥️
Salam,
IN
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajeeallen's Role
RomanceAjeea Milly Darmandira tidak pernah memiliki pemahaman tentang konsep pernikahan. Namun bukan berarti ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki. Ia hanya tidak mengerti bagaimana bisa seseorang memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang ia...