4. Peduli

9.1K 505 6
                                    

Penyesalan.

Satu kata itu cukup mengartikan semua yang dialami Dasha. Ia sungguh menyesal tidak menahan dirinya waktu itu, ia malah kalah dengan sisi lainya itu.

Kalau saja ia bisa sedikit menahan, mungkin hidupnya tidak akan jadi olok-olok temanya lagi. Baru saja beberapa hari ia sekolah, ia sudah dibenci, sekarang.

Apa yang harus ia lakukan,  meminta maaf pada Sully, mungkin ia bisa, tapi Sully tidak mungkin memaafkanya.
Sedih, ia rasa kata itu sudah tidak pantas lagi ia ucapkan.

"Lepaskan," Dasha menghentakan tangannya yang ditahan seorang cowok.

Dia Tama. Entah angin dari mana lelaki ini tiba-tiba menahan tamparan Folra yang akan mendarat di pipi Dasha.

"Lo... nangis?" tanya Tama tak tahu harus berbuat apa,  melihat perempuan dihadapanya mengeluarkan air mata.

"Nggak, tolong biarin saya pergi, saya mohon," ungkap Dasha yang melenggang pergi menuju toilet.

"Tapi lo nangis, apa mungkin lo sakit, ayo ikut gue ke Uks," pinta Tama sungguh-sungguh.

"Kamu gak usah sok peduli sama saya. Kamu sama seperti mereka, hanya bisa mengolok-ngolok saya, apa kalau saya nangis saya sakit, tolong biarin saya pergi," ucap Dasha.

Tama diam seribu bahasa, ia membiarkan Dasha melewatinya, ia.. ia tidak tau harus mengatakan apa. Ucapan Dasha barusan memang nggak salah, perbuatan Sully sudah membuat jati diri Dasha hancur.

Tama membiarkan Dasha melewatinya tapi ia tetap mengikutinya, entah kenapa ia tidak tega melihat seorang perempuan menangis. Dasha kemudian duduk di bangku taman belakang yang sepi.

Ia menghirup udara sebanyak-banyak nya, ia tau jika ia kembali ke kelas ia pasti akan menangis. Dasha akui ia adalah gadis cengeng, namun di sisi lain ia juga gadis kuat.

Kuat dalam menahan ejekan dari banyak pihak, bagi Dasha ejekan adalah makanan sehari-hari. Namun tetap saja ia selalu menangis, bahkan di sekolahnya dulu ia jahili sampai masuk rumah sakit,  itu yang membuat Dasti memindahkan sekolah nya.

Apa mempunyai kepribadian ganda itu sesuatu hal yang mejijikan sampai semua orang menghina nya. Apa sehina itukah? Diambil dari sudut mana sih.

"Selamat siang," sapa seseorang yang baru saja menempelkan bokong nya dikursi taman. Dasha menatap sosok disampingnya itu dengan mata berbinar.

"Devan, kapan datang," sapa balik Dasha dengan memeluk sosok cowok itu.

"Saking fokus nya sampai gak terasa yah aku datang," ledek Devan membuat Dasha tidak enak.

"Maaf," balas Dasha dengan melepaskan pelukanya. Devan tersenyum lebar dengan kembali memeluk Dasha.

"Kenapa, diejek lagi, kan udah aku bilang kalau kamu diejek, kamu ejek balik Sha, jangan mau kalah," saran Devan yang membuat Dasha mencubit perutnya.

Sampai lelaki itu menggerling geli, "kamu ini, nasehatin itu yang baik kek, ini malah menjerumuskan," ucap Dasha.
Devan tertawa kecil sebari mencubit pipi Dasha.

"Nanti pulang bareng yah,  sekalian mau mampir," ungkap Devan membuat Dasha mengangguk girang.

"Yaudah, sebentar lagi bel, aku anterin ke kelas kamu yah," lanjut Devan. Dasha diam sejenak, ia agak takut Devan akan kena jika berbarengan dengan Dasha.

"Umm. Gak usah Van, aku.. sendiri ajah, lagian kelas kita beda," ujar Dasha yang tersenyum meyakinkan.

"Hah.. Gini nih kalau aku bukan pacar kamu, gak bisa maksa deh," ucap Devan yang membuat Dasha mengerucutkan bibirnya.

"Kamu duluan aja, aku disini dulu bentaran," balas Dasha, Devan mengangguk ia kemudian mengacak pelan puncak kepala Dasha.

"Yaudah, cepetan masuk yah, jangan kelamaan nanti masuk angin," ungkap Devan.

"Apaan sih Van, garing banget," balas Dasha dengan kesal membuat senyuman terukir di bibir keduanya. Setelah Devan pergi, tak lama Dasha pun pergi, meninggalkan Tama yang sedari tadi jadi menjadi CCTV diantara Devan dan Dasha.

"Sebenarnya apa yang terjadi sama gue sih, ngapain coba gue liat dari pohon ini," ungkap Tama yang berbicara sendiri.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bersambung

Kepribadian Ganda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang