41. Kelemahan Devan

3.2K 165 2
                                    

Dasha merentangkan tangannya karna pegal, hari terakhir ujian kenaikan kelas telah dilaksanakan barusan, dan kelas langsung dibubarkan.

"Maaf aku gak bisa nganter pulang kamu ya Sha, aku ada keperluan diluar."

Ujar Tama saat mereka keluar dari kelas, Dasha mengangguk, ia mengerti bahwa Tama sedang ada keperluan dan Dasha tidak ingin mengganggu.

Mereka berpisah dikoridor, Tama entah kemana perginya, dan Dasha segera menuju halte untuk menunggu angkutan umum.

Setelah naik angkutan umum dan turun digerbang masuk perum, kebetulan perum ini terletak dipusat kota. Dasha berjalan disepanjang jalanan perum, ia merasa sedang diikuti.

Dasha membalikan badannya, tidak ada siapa-siapa, Dasha menghela napas, rumah akhirnya sudah terlihat, Dasha mempercepat jalannya. Ia tersenyum saat berada dihalaman rumah. Namun belum sempat ia membuka pintu, tubuhnya langsung ambruk dan Dasha langsung tak sadarkan diri.

*

Dasha mengerjapkan matanya, kepalanya terasa sakit dan itu masih membuat pusing, setelah kesadaran Dasha terkumpul ia baru menyadari bahwa sebuah tangan tengah memeluknya dari belakang.

Dasha mengerjap, ia melihat tanganya yang diikat namun ikatanya tidak menyakitkan,  Dasha mengedarkan pandanganya, ini bukan kamarnya, Dasha membalikan badanya.

Disampingnya Devan tengah tertidur dengan posisi menghadap Dasha, memeluk tubuh Dasha, wajah Devan seperti tidak terawat, tubuhnya juga semakin kurus, tak lupa rambut acak-acakanya.

''Devan," panggil Dasha yang memukul lengan Devan dengan kedua tanganya yang terikat. Devan mengerjap, pandangan matanya langsung menatap Dasha, bibir Devan melengkung menampilkan senyuman tampan nya.

"Pagi Sha," sapanya, Dasha menyernyitkan keningnya. Pagi? tidak mungkin, padahal ia masih ingat bahwa ia baru pulang sekolah, tapi ia tidak ingat apapun lagi.

"Apa yang kamu lakuin Van, kenapa kamu iket aku, lepasin aku Van," berondol Dasha membuat Devan malah tersenyum-senyum menatap Dasha.

"Aku kira, aku mimpi bisa liat kamu pas bangun tidur," dia tidak mengindahkan pertanyaan berondol Dasha, lelaki ini malah mengusap rambut Dasha, gadis ini menghindar.

"Ini gak lucu Van, lepasin aku sekarang," Dasha sedikit teriak, membuat Devan bangun dan sedikit menarik Dasha agar terduduk. "Devano, lepas." Lanjut Dasha dengan mencoba melepaskan tali ditanganya.

"Sha, hei." Devan memegang bahu Dasha, ia lalu mengusap lengan Dasha yang terus meronta, "ayo kita buka lembaran baru, hanya aku dan kamu, ayo kita hidup berdua, aku gak mau kehilangan kamu Sha, aku gak mau."

Devan menatap lembut Dasha, sementara Dasha menggeleng. "Van, ini bukan kamu, sekarang aku udah gak kenal kamu lagi, kamu berubah Van, kenapa kamu begini," Dasha meneteskan air matanya, hatinya sangat perih, orang yang ia anggap sahabat bak malaikatnya ternyata sangat terobsesi padanya.

"Aku begini karna kamu Sha, kamu nyakitin perasaan aku, kamu memilih dia Sha, milih lelaki yang bahkan baru kamu kenal Sha."

Jangan kira Devan mengatakan itu dengan membentak Dasha, tidak, suara Devan sangat lembut saat mengatakan itu.

"Van, Rio udah aku kenal dari dulu, hanya aja sekarang baru ketemu lagi, kami udah berteman sejak lama Van, tolong ngertiin aku." Dasha menunduk kan kepalanya, bahunya bergetar menahan isakan.

"Nggak Sha, dia, cowok itu cuma masalalu kamu, dia pergi waktu dulu, dan baru kembali sekarang, sedikit aja kamu gak fikirin perasaan aku Sha, aku selalu didekat kamu, aku." Devan kehilangan kata-katanya, ia menahan napas, lalu beranjak dari ranjang.

"Van lepasin aku," isak Dasha yang melihat kepergian Devan, tanganya terus mencoba melepaskan diri dari ikatan tali itu. Devan menutup pintu kamar itu.

Tubuhnya langsung merosot disamping pintu, tubuhnya bergetar, napasnya terasa sesak, matanya memerah.

"Kenapa Sha, kenapa kamu begini, kenapa kamu memilih menjauh Sha," gumam Devan yang menunduk, namun ia segera mengadahkan wajahnya, menahan air mata agar tidak terjatuh.

Namun sayang, usahanya sia-sia, cairan bening itu menerobos pertahanan matanya, napasnya tersedat, bahunya menahan agar tidak bergetar. Ia beberapa kali memukul dadanya yang sesak.

Devan mengusap air mata itu, ia lalu menghela napas, menatap pintu didepanya, ia lalu berdiri dan segera beranjak untuk membersihkan diri.

Setelah selesai, Devan langsung menuju dapur, ia mencari bahan-bahan untuk memasak, dan beberapa saat kemudian masakannya jadi.

Devan lalu membawa dua piring makanan itu, ia membuka pintu dan matanya langsung melotot. Devan sedikit berlari dan segera menaruh makananya dimeja, ia langsung menuju Dasha.

Tangan Dasha memerah, terlihat ia berusaha keras mencoba melepaskan tali itu dengan menggesekanya, Dasha terdiam saat tangan Devan mengelus tanganya yang memerah. Devan lalu melepaskan tali dari tangan Dasha.

Setelah terlepas Devan mengambil makanan, ia menyerahkan satu piring kepada Dasha, gadis itu terdiam tidak bergeming, matanya menatap lurus kedepan, ia tidak menoleh sedikit pun pada Devan.

"Maafin aku yah," ucap Devan yang mencium pergelangan tangan Dasha yang memerah itu, Dasha masih tidak merespon. Lelaki berwajah tampan itu menyuapkan sendok demi sendok pada Dasha, gadis ini sama sekali tidak menolak. Ia masih tetap diam tanpa memperdulikan Devan.

Devan tersenyum melihat Dasha menurut, ia mengusap surai Dasha dengan sayang.

"Kamu kelemahan aku Sha, tapi kamu juga kekuatan aku, tolong jangan sakitin aku yah Sha, karna aku sangat mencintai kamu."

Dasha menelan ludahnya, ia merasakan hatinya tergores mendengar pernyataan Devan, entah kenapa ia merasa Devan sangat tulus padanya, kenapa perasaan hangat itu muncul, perasaan tidak tega, tadinya Dasha akan berpura-pura menurut lalu jika ada kesempatan ia akan kabur.

Dasha menoleh pada Devan yang tersenyum padanya, senyuman yang ternyata begitu Dasha rindukan, mata Dasha berair, Devan langsung panik dan mengusap air mata itu.

"Maafin aku Van, aku udah nyakitin kamu, maafin aku," Dasha menunduk, tubuhnya bergetar, perasaan tidak teganya benar-benar besar, Dasha merasa sudah sangat jahat pada Devan.

Devan memeluk tubuh Dasha, ia memeluk dengan erat seolah tidak ingin melepaskanya, berkali-kali Devan mencium puncak kepala Dasha, perasaannya membuncah, setidaknya Dasha-nya sudah kembali.

"Nggak apa-apa, kamu gak perlu minta maaf, aku yang harusnya minta maaf, aku gak bisa jaga kamu." Devan mengecup sayang kening Dasha, gadis ini masih menangis.

"Van," panggil Dasha dan melepaskan pelukanya, Devan menatap lekat mata Dasha, ia tersenyum melihat mata berkaca-kaca gadis ini.

"Devan jangan berubah, karna Devan yang aku kenal gak seperti tadi, Devan yang aku kenal adalah malaikat penjaga aku, dan. Devan yang aku kenal ganteng, dan gak kucel kayak gini."

Devan tertawa mendengar ucapan terakhir Dasha, lelaki ini bahkan memegangi perutnya yang terasa keram akibat tawanya terlalu meledak.

"Ikh, kok malah ketawa sih, aku serius tau." Dasha memberenggut kesal, ia mengerucutkan bibirnya, Dasha menyilangkan tangannya didada dan menatap kesal Devan yang masih tertawa.

"Adudu, jangan cemberut gitu dong," setelah selesai tertawa Devan menyerka air matanya akibat terlalu tertawa, ia menatap gemas Dasha.

"Issh Devan," Dasha kembali memberenggut saat melihat Devan tertawa lepas lagi, dan entah kenapa ia malah berpura-pura kesal, padahal hatinya menghangat melihat Devan tertawa seperti itu.

Devan memeluk tubuh Dasha, ia menghujami Dasha dengan ciuman didahinya, Dasha mencoba memberontak agar tidak terkena ciuman Devan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bersambung

(Spesial Devan-Dasha yah, suka banget sama mereka ini)

Kepribadian Ganda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang