Bintang [Aldebaran]

3K 161 26
                                    

Gelap. Dingin. Sunyi.

Cukup tiga kata itu saja sudah dapat menggambarkan bagaimana kelamnya malam bukan?

Hanya rembulan yang separuhnya tertutup awan hitam yang nampak masih tegar menerangi.

Lantas, dimana ribuan bintang yang tersebar?

"Alde itu bintang yang paling terang bagi, Mama. Tidak peduli seberapa ribuan bintang bersinar diatas sana."

"Kalau Alde itu bintangnya Mama, kenapa Mama pergi? " rengek Alde kecil.

Tanpa sadar, langit mulai menupahkan airnya, mungkin sudah lelah menanggung beratnya.

Tetesan hujan itu terasa nyata, karena jelas sekarang membasahi wajah tegasnya yang masih setia menatap langit, berharap masih ada satu bintang bersinar diantara berjuta air hujan.

"Maaf. Mama, sayang Alde."

Nihil.

Bersama kata itu, ia menyerah mencari bintang diantara hujan malam.

Bersama kata itu, hujan diwajahnya pun turut menghias, tidak peduli seberapa buruknya ia sekarang dengan tangis yang masih membanjir bercampur air hujan.

"Bullshit! "

Kata terakhir itu adalah kebohongan besar yang nyatanya ia percaya sampai kini.

"Papa janji bakal sering kesini, bawa mainan yang banyak buat Alde."

"Tapi Alde maunya papa!, Alde gak mau mainan! "

"Maaf, papa gak bisa."

"PENIPU! "

Entah sudah berapa umpatan yang keluar. Sesak akan tangis dan kepulan asap mematikan tak membuatnya ingin menjauh.

Diam. Tenang. Kelam.

Apa masih kurang untuk menggambarkan kehidupan yang lebih layak dinamakan kematian?

Buruk. Pembangkang. Atau mungkin bisa disebut "BRANDAL".

Tidak lagi ia pedulikan, apapun sebutan dunia yang kejam ini baginya. Yang jelas, ia tak akan pernah menyangkalnya sama sekali.

Tapi satu yang pasti.

"Alde masih sama, Alde rindu."

Kali ini bukan lagi amarah ataupun sumpah serapah yang ia keluarkan. Tapi kalimat memilukan yang bahkan dirinya sendiri seringkali menyangkal untuk mengakuinya.

Agam Aldebaran.

"Alde ingat ini baik-baik. Kalau Alde lagi sedih, coba tatap langit malam. Disana ada Aldebaran-nya Mama yang paling terang."

"Benarkah?"

Mama Alde mengangguk mengiyakan pertanyaan putra ter-kasihnya.

"Karena Aldebaran itu---"

"---rasi bintang yang paling terang, yang Mama miliki."

"Alde rindu pelukan mama."

Seburuk apapun Agam. Ia tetap berusaha menjadi Alde kecil yang selalu mengingat kata-kata sang Mama.

Tapi mungkin untuk malam ini, biarkan sejenak saja semua sisi terburuk dalam hidupnya terbuka.

Agam kembali memejamkan matanya, menikmati gemuruh petir dan kilatan cahaya putih yang menyertai. Seakan inginkan Agam untuk pergi menjauh.

Bukan Agam namanya jika ia beranjak. Masih diposisi yang sama, dengan air mata yang tersamar dengan hujan, dengan kepulan asap rokok yang sedari tadi ia hisap.

INTUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang