Thank You Sweetheart

6.2K 660 13
                                    

           

           

            Terdengar suara perdebatan ketika Kit melewati ruangan Singto, sumpah demi dewa yang ada di langit dan di bumi Kit bukan tipe manusia yang peduli dengan urusan orang lain. Tetapi kali ini hatinya berkhianat, salahkan Singto Prachaya yang telah menguasai sebagian kerja otaknya. Kit memasuki ruang kerja Singto dan melihat kekasihnya sedang duduk di bangku kebesarannya dan menatap beberapa orang yang sedang berdebat. "Huhh.. Aku kira, aku adalah pria tertampan di muka bumi ini, entah dalam mode apapun ketampananku kalah telak dengannya." (Kit tanpa sadar menggerutu dalam hatinya).

            Kit melihat beberapa dokter sedang menjelaskan sesuatu pada seseorang yang entah siapa, tetapi Kit yakini ia adalah pasien dari rumah sakit ini. Pria paruh baya itu memperlihatkan hasil X-ray kepada para dokter di depannya.

"Tuan Tum, perlu anda ketahui bahwa kebijakan yang dimiliki seoarang dokter adalah mereka tidak di perkenankan untuk menyentuh mesenterika arteri superior, jadi keputusan yang kami ambil untuk kasus anda adalah dengan melakukan kemoterapi berlanjut untuk melemahkan kanker yang tumbuh pada pembuluh darah utama." Jelas Profesor Phaka kepada pria paruh baya itu.

Ahhh... Kit baru ingat dengan kasus penyakit tersebut, pria itu adalah Tuan Tum Sinamuwang pria penderita kanker pankreas yang beberapa waktu lalu membuat seorang Profesor Nat kembali ke meja operasi setelah sekian lama hanya mengurusi penelitiannya.

"Dengan kata lain kalian membiarkan saya tetap hidup selamanya dengan rasa sakit akibat kanker yang tidak mampu kalian atasi? saya percaya rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit terbaik di kawasan Asia, dengan predikat seperti itu saya berpikir tidak perlu pergi ke luar negara saya untuk mendapatkan pengobatan, tetapi ternyata kalian bahkan tidak memberikan kesembuhan untuk saya. Saya akan menuntut rumah sakit ini."

            Kit melihat Singto belum bereaksi apapun terhadap masalah di hadapannya. Entah apa yang dipikirkan kekasihnya. Tanpa menghiraukan protes dari banyak pihak, Kit mengambil hasil X-ray Tuan Tum dari tangan Profesor Nat. Kit memperhatiakan dengan teliti dan ia sudah menduga akan terjadi seperti ini.

"Sudah ku duga akan seperti ini." Kit bersuara dan itu memancing reaksi semua orang yang ada di dalam ruangan.

"Lancang sekali anda melihat hasil rekam medis milik saya, dan lagi siapa anda berani-beraninya berkomentar seperti itu." Tuan Tum menyerukan kemarahannya dengan apa yang dilakukan Kit.

"Hei Tuan.. apa anda tidak melihat saya memakai snelli berlengan panjang, sebagai pimpinan redaksi majalah kesehatan ternama, harusnya anda tahu bahwa orang yang berpakaian seperti saya adalah seorang dokter spesialis."

Singto hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat semua tingkah yang dikeluarkan Krist.

"Dokter Krist, kemana perginya rasa respect anda pada pasien?"

Profesor Nat selalu saja seperti ingin menelan dirinya jika sedang berbicara padanya.

"Saya sudah menduga kondisi ini akan terjadi pada anda jika kanker yang tumbuh pada pembuluh darah utama tidak diangkat dengan tuntas. Kemoterapi sifatnya hanya melemahkan bukan memutus penyebaran. Saya akan mengoperasi ulang anda Tuan Tum, dan saya pastikan anda akan sembuh."

"Bahkan seorang Profesor saja tidak mampu mengatasi penyakit saya, apalagi anda yang hanya dokter ahli bedah biasa."

"Saya mampu melakukan itu pada anda Tuan Tum karena saya tidak pernah gagal."

            Singto yang hanya berdiam diri sejak tadi akhirnya bangkit dari kursinya dan menghampiri kekacauan di dalam ruang kerjanya. Sebagai seorang pimpinan ia hanya ingin tahu bagaimana semua bawahannya menyelesaikan setiap masalah yang ada pada lingkaran rumah sakit ini.

"Tuan Tum, sebagai pemilik rumah sakit ini saya memohon maaf atas kesalahan yang dilakukan para dokter yang menangani anda. Dan izinkan Dokter Krist untuk melakukan tindakan operasi untuk anda, selain dia yang memastikan dirinya tidak pernah gagal saya juga akan memastikan bahwa dia memang tidak akan gagal dalam operasi kali ini."

"Tuang Singto, anda tidak boleh memberikan harapan terlalu tinggi untuk pasien itu akan berdampak pada psikologisnya jika penanganan pada pasien tidak sesuai dengan apa yang anda janjikan."

"Hehh.. ada apa dengan Profesor Nat, kenapa berbicara dengan Singto nada suaranya sangat berbeda jauh dengan ketika ia berhadapan denganku. Dasar siluman rubah profesional, pantas saja ia memiliki gelar Profesor, mulutnya saja seperti madu jika berhadapan dengan orang-orang penting, padahal kemampuan bedahnya lebih buruk dari semua dokter magang" (Kit bersumpah serapah dalam hatinya).

            Kit tidak pernah menyukai Profesor Nat sejak pertama kali ia menginjakan kakinya di rumah sakit ini. Pria itu seperti mengibarkan bendera perang sejak pertemuan perdana mereka. Ditambah lagi ketidaksukaan pria itu dengan semua tingkah laku Kit yang membenci sistem rumah sakit ini. Tunduk kepada senior "My Ass" Kit tak akan pernah tunduk pada siapapun yang tidak memiliki kredibilitas diatasnya.

"Perlu anda ketahui Tuan Tum kondisi anda sekarang sangat mengkhawatirkan, jika saya tidak menangani anda segera, tubuh anda akan semakin melemah dan penyebaran kanker akan semakin cepat dan saya pastikan anda tidak akan selamat."

            Semua orang didalam ruangan terkejut dengan pernyataan Kit yang sangat frontal. Bagi mereka sekalipun pasien tidak mampu diselamatkan sebagai dokter rasanya kurang etis jika membicarakan langsung kondisi pasien yang sebenarnya. Tidak untuk seorang Kit, baginya pasien harus tahu seberapa banyak dan sedikitnya peluang mereka untuk sembuh, iya selalu fair dengan semua pasien yang ditanganinya.

"Semua keputusan ada di tangan anda Tuan Tum, saya permisi karena saya sudah tidak punya keperluan lagi disini." Kit ingin sesegera mungkin meninggalkan ruangan Singto, menikmati pink milk super dingin untuk mengembalikan kewarasan otaknya.

"Dokter Krist."

            Langkah Kit terhenti mendengar namanya dipanggil oleh seseorang ketika Kit hendak membuka pintu ruang kerja Singto. Kit memutar tubuhnya dan melihat Tuan Tum bangkit dari kursi untuk menghampiri Kit. Terlihat wajah putus asa dan kesedihan ketika berhadapan langsung dengan pria paruh baya ini.

            Tuan Tum tiba-tiba berlutut di depannya, menundukan kepalanya sangat dalam dan sontak prilaku Tuan Tum sangat mengagetkan Kit.

"Saya mohon berikan saya harapan hidup lebih panjang Dokter Krist, saya mohon jangan biarkan saya tidak membuka mata lagi setelah operasi."

Kit segera menghampiri pria paruh baya itu, mengajaknya untuk berdiri.

"Mari kita hadapi bersama Tuan Tum, saya akan melakukan sebaik mungkin karena saya tidak pernah gagal."

            Tuan Tum menangis dan memeluk Kit dengan erat, untuk beberapa saat hatinya berdenyut nyeri karena pelukan Tuan Tum mengingatkan Kit pada ayahnya. Entah kapan terakhir kali ia memeluk dan dipeluk ayahnya, hubungan mereka merenggang setelah kematian sang mama. Kit bahkan lupa apa arti kata ayah di dalam kehidupannya setelah malapetaka itu terjadi belasan tahu lalu.

            Singto mengedipkan sebelah matanya ketika tatapan mereka saling bertemu. Ia mengucapkan terima kasih pada Kit walau tanpa bersuara. Kit hanya membalas dengan senyum seadanya karena ia tidak ingin membuat orang-orang yang ada didalam ruangan ini menatap curiga ke arahnya. Untuk ke sekian kali Singto merasa hidupnya berubah dengan kehadiran Krist, pria itu seperti cahaya untuk sisi tergelapnya.


Test.. Test.. tu.. wa..ga.. ohh halloooo para netijen yang penulis sayangi, sebagian orang hatinya pada deg deg ser ya khann dramanya babang udah tayang. Kalau gue sih belom nonton soalnya masih belum kuat hati.

Anyway, butuh banget perjuangan nulis setiap chapter nantinya karena isi instagram yang nampilin muka babang di drama baru,(#baladapenulisyangterbiasaliatbabangsamadedek). Tapi tenang aja sebisa mungkin gue tetep update secepat kilat kalau di khayangan lagi gak ada urusan mendesak.

Terima kasih untuk semua support system yang sudah mendukung kelancaran update setiap chapter cerita ini.

*Semesta Mendukung Peraya*

The Air I BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang