Singto mencari-cari keberadaan Krist ke semua ruang di Mansionnya, baru saja ia tinggalkan untuk membersihkan diri, kekasihnya sudah menghilang dari kamar mereka. Singto selalu saja merasa khawatir jika Krist tiba-tiba tak terlihat dari pandangan, Krist pernah hilang tanpa kabar dan itu membuatnya seperti orang gila, setelah kejadian itu Singto selelalu memperingatkan Krist untuk memberitahu jika ingin pergi ke manapun. Lututnya hampir saja lemas jika ia tak melihat pria yang ia cari sedari tadi terlihat santai duduk di kursi pinggir kolam renang sedang memeriksa tumpukan file. Hatinya menghangat, ia tahu Krist tak akan pernah lari lagi dari sisinya, ia hanya takut itu saja. Singto menuju dapur untuk membuat cokelat panas dan membawakan beberapa cemilan untuk Krist, Krist selalu butuh asupan gula jika sedang bekerja agar ia bisa tetap hidup setelah semua pekerjaannya selesai.
Singto menghampiri Krist dan mengecup kepala kekasihnya yang tak kunjung beranjak dari tumpukan berkas yang sedang ia teliti. Singto meletakkan cangkir berisi cokelat panas dan carrot cake kesukaan Krist di sampingnya. Krist tersenyum melihat kedatangan Singto, ia tahu prianya selalu tampil mempesona tetapi Singto dengan white t-shirt dan boxer ternyata pesonanya naik hingga ribuan kali dan itu hanya boleh dilihat oleh dirinya saja.
Krist melirik mug yang dibawa oleh Singto "Auhh.. tidak ada pink milk ice untuk ku?"
Singto menggelengkan kepalanya "Pink milk ice menjelang dini hari, apa kamu yakin dirimu manusia yang kebal terhadap penyakit?"
"Aku memiliki seorang Singto Prachaya sebagai antibiotik jika aku sakit, jadi kamu tenang saja lah.. Aku tidak akan pernah sakit jika kamu terus terlihat seksi di mataku"
"Boleh ku pukul saja kepala mu?"
"Tentu.. dengan bibirmu" Krist tetap menanggapi Singto walau matanya terus saja menatap file di pangkuannya.
"Sibuk sekali, kau sedang memeriksa apa?" Singto mulai meminum black coffee yang tadi ia bawa bersama dengan cokelat untuk Krist.
"Hanya laporan yang dikirim oleh asisten ku, beberapa perusahaan mengajukan kerjasama dan aku belum memutuskan akan bertemu dengan perusahaan mana, tetapi aku sudah mencoret beberapa perusahaan yang tidak aku sukai"
"Kenapa? mereka bermasalah?" Singto terus saja meminum kopinya tanpa henti.
"Tidak, aku hanya mencoret perusahaan yang pemiliknya pernah mengajak ku berkencan"
"Apa!"
"Wow.. easy dude"
Singto menatap tajam ke arah Krist meminta penjelasan dari kekasinya.
"Well.. ya seperti itulah"
"Itu tidak menjelaskan apapun Krist"
Krist tertawa, For Lord Sake Singto selalu saja butuh penjelasan panjang agar mampu ia cerna dengan baik katanya ("Bolehkan aku berkata kasar dengan sikapnya yang seperti ini, oh.. ayolah Krist tak pernah suka menjelaskan")
"Intinya.. aku tak suka, dan tak mau ada kerjasama.. The End!"
Singto menghembuskan nafasnya kasar, ia tahu Krist tak suka menjelaskan secara detail, ia hanya perlu melihat dari sikap yang diambil oleh kekasihnya, dan sejauh ini apapun itu Singto percaya bahwa Krist mencintainya.
"Apa kamu tidak lelah menjalankan banyak pekerjaan? sebagai seorang dokter tenaga mu sudah habis terkuras, ditambah lagi menjalankan perusahaan besar"
"Tidak, karena didikan mom aku mampu menjalankan keduanya dengan baik sama seperti yang ia lakukan semasa hidup"
Krist menerawang jauh, mengingat apa yang pernah ibunya lakukan dahulu. Ibunya adalah seorang dokter sekaligus pianis, menjalankan dua profesi dengan seimbang itu adalah kunci yang selalu diajarkan oleh ibunya. Sang ibu tak hanya menasehati tetapi juga mencontohkan, dan itulah yang membuat Krist menjadi pria dengan penuh keahlian seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Air I Breath
Fiksi Penggemar*Krist Perawat * Seorang dokter ahli bedah, tidak suka diatur, hanya bekerja sesuai dengan keinginanya, membenci semua sistem yang berhubungan dengan peraturan rumah sakit. "saya tidak pernah gagal" itulah yang sering ia ucapkan ketika semua orang m...