Arvetta | 12

901 181 13
                                    

Jangan lupa vote dan komen:)

  "KAMU tahu kenapa hasil karya kamu belum bisa saya terima? Karena hasil karya kamu ini sampah, yang harusnya di buang!"

  Aletta menganga saat melihat lampu tidur yang ia buat mati-matian semalam di lempar oleh gurunya ke tempat sampah. Cewek itu menoleh ke sekelilingnya, menatap tajam bagi siapa saja yang berani mentertawakannya di koridor ini.

  "Saya gak mau tahu, kamu buat lagi yang baru, dan hari Jumat sudah ada di meja saya," ujar Bu Tia, membuat Aletta kembali menatap gurunya itu. Cewek itu sedikit kesal sekarang, karena besok adalah hari Jumat.

  "Ibu Tia, saya akan menghargai orang yang juga menghargai saya. Jadi, kalau nanti Ibu merasa gak saya hargai, ask yourself first," ucap Aletta dingin. Cewek itu langsung berjalan santai meninggalkan Bu Tia yang wajahnya sudah memerah menahan amarah.

"Bangsat tuh guru, gue udah bikin capek-capek, malah dibilang sampah! Muka lo kayak sampah, begok!" gerutu Aletta sambil menghentakkan kakinya kesal. Kakinya melangkah menuju taman belakang, tempat yang pas untuk cabut pelajaran.

Kriiiiing.. Kriiiiiing.. Kriiiiiing..

"Bodo amat sama Matematika," gumam Aletta sambil mengecek jam tangannya. Saat ini memang sudah memasuki jam pelajaran Matematika, dan belajar Matematika akan membuat otaknya semakin terbakar.

Aletta duduk di salah satu kursi panjang yang berada di taman itu, lalu menghela napasnya. Akhirnya pertahanannya runtuh, cewek itu meneteskan air matanya. Inilah yang terjadi jika ia sedang sendirian. Sedangkan kalau bersama teman-temannya, ia akan melupakan masalahnya walau sebentar.

"Jangan sedih." Aletta tersentak saat merasa ada yang menepuk bahunya dua kali, lagi-lagi Arvi yang entah sejak kapan sudah duduk di sebelahnya.

"Saya gak sedih," sahut Aletta sambil mengusap air mata di pipinya.

"Tadi saya lihat kamu di koridor," ucap Arvi yang membuat Aletta menatap gurunya itu. "Kamu akan menghargai siapa saja yang juga menghargai kamu. Saya setuju dengan prinsip kamu, tapi kamu tidak boleh  berbicara begitu. Bagaimanapun, Bu Tia adalah guru kamu."

"Saya udah terlanjur kesel sama dia," ucap Aletta sambil menunduk.

Tatapan Arvi sontak melembut saat melihat wajah sedih Aletta. Entah mengapa, timbul perasaan tidak suka saat melihat Aletta bersedih.

"Soal prakarya itu.." Arvi menggantungkan ucapannya, membuat Aletta kembali menatapnya. "Mau saya bantu?" tawar Arvi, yang langsung dibalas anggukan oleh Aletta.

"Makasih, Pak. Nanti Bapak langsung ke rumah saya aja. Pasti Reno senang kalau Bapak datang," ucap Aletta sambil tersenyum.

Senyum Arvi ikut mengembang saat melihat Aletta yang kelihatannya sudah jinak. "Di luar jam pelajaran, kamu gak perlu panggil saya Bapak. Flora bilang, kamu sudah tahu umur saya yang sebenarnya," ujarnya.

"Terus?"

"Panggil saya seperti kamu panggil Deno, dan Hejo."

"Kak.. Arvi?" ucap Aletta ragu, membuat Arvi mengangguk yakin.

"Iya, dan hari ini, saya akan ke rumah kamu," kata Arvi sambil menggulung lengan kemeja-nya sampai siku, seperti biasa.

Arvetta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang