Arvetta | 28

500 118 2
                                    

  H A P P Y   R E A D I N G

Jangan lupa vote dan komen:)

  SAMPAI di hari keenam, Arvi masih saja memikirkan perasaannya pada Aletta, meyakinkan dirinya sendiri apakah cewek itu berhak berada di hatinya atau tidak.

  Tapi, apakah yang menentukan kalau kita mencintai seseorang adalah seberapa berhaknya orang itu berada di hatinya?

  "Ma, Pa, cinta itu apa sih?" tanya Arvi saat mereka berempat sedang sarapan di rumah. Kebetulan, Rendra dan Sharen sudah kembali dari liburan mereka.

  Mendengar pertanyaan dari anak laki-laki semata wayang-nya, Rendra langsung tersedak, sedangkan pisau untuk mengoles selai cokelat yang Sharen pegang terjatuh. Tidak jauh berbeda dengan reaksi berlebihan kedua orang tuanya, Flora juga langsung menyemburkan susu yang sedang ia minum.

  "Tadi kamu tanya apa?" tanya Sharen, sedikit takut jika terdapat kesalahan pada pendengarannya.

  "Cinta itu apa? Kalau kita cinta sama seseorang, apa itu diukur dari seberapa berhaknya orang itu ada di dalam hati kita?" tanya Arvi.

  "Siapa bilang? Semua perempuan itu berhak ada di hati kamu," jelas Sharen sambil menggelengkan kepalanya pelan.

  Rendra memperhatikan perubahan ekspresi putranya itu lekat-lekat, "Kamu lagi suka sama seseorang?" tanyanya.

  "Iya, dan udah pacaran sama dia," jawab Arvi cuek.

  "Hah? Siapa?!" tanya Flora ngegas.

  "Kepo banget, lo!"

  "Apa yang kamu rasain setiap kali sama dia?" tanya Rendra.

  "I don't know exactly. Yang jelas, aku suka ngabisin waktu sama dia, walaupun dia kadang manja, tapi dia bisa masak," jelas Arvi sambil tersenyum kecil. "Oh iya, yang bikin heran, dia sama sekali gak tertarik sama siapapun, kecuali aku."

  Sharen ternganga, "Kamu heran karena dia setia?" tanyanya heran.

  "Aku tahu itu hal yang bagus. Tapi, kami gak akan selamanya bersama, kan?"

  "Kenapa kamu mikir kayak gitu?" tanya Rendra terheran-heran. Sebenarnya ia setuju dengan pikiran anaknya itu kalau mereka memang belum tentu bersama. Tapi, mengapa Arvi terlihat tidak ingin memperjuangkan hubungan mereka?

"Gak tau, tapi kayaknya aku belum benar-benar cinta sama dia," jawab Arvi sambil menaikkan kedua bahunya acuh.

"Kayaknya aku tahu itu siapa," celetuk Flora. "Aletta, kan?" tanyanya, tepat sasaran.

"Aletta.. murid kamu yang di supermarket itu?" tanya Sharen ragu.

  "Kalo iya, kenapa?"

  "Aletta kelihatan baik. Perempuan seperti itu, jangan pernah kamu sakiti," pesan Rendra.

  Arvi mengalihkan pandangannya kearah Rendra, "Kenapa? Karena dia anak Om Stephan?" tanyanya.

  "Well.., I didn't know about that, actually," sahut Rendra sambil menaikkan sebelah alisnya.

  "Denazzaren Malvier Arviendra," Sharen memanggil putranya itu dengan nada dingin, membuat Arvi menoleh kearahnya.

  "Kenapa, Ma?" tanyanya tenang.

  "Mama tidak suka kamu seperti ini, Arvi. Kalau kamu memang tidak mencintainya, kenapa kamu berpacaran dengannya? Itu hanya membuang waktu kamu dan akan menyakiti hati Aletta juga nantinya," ujar Sharen panjang lebar.

  "Jadi, aku harus putus sama Aletta?"

  "Tergantung apa pilihan kamu. Apa kamu rela Aletta bersama dengan laki-laki lain?" tanya Rendra. Sharen menunggu jawaban Arvi sedangkan Flora tampak mengamati perubahan ekspresi kakaknya itu.

  Arvi terdiam. Tanpa sengaja, matanya melirik jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul setengah tujuh.

  "Oops, udah jam segini. Aku harus ke kantor," ucap Arvi pura-pura terkejut.

"Hari minggu gini lo tetep kerja?" tanya Flora tidak percaya.

"Yap. Nanti lo juga gitu," goda Arvi yang disambut gelengan kuat-kuat oleh Flora.

"Ogah, minat gue aja di design interior," sahutnya acuh.

Arvi hanya mendengus pelan, lalu mengecup pipi kedua orang tuanya dan menjitak kening Flora pelan. "Jangan nakal," pesannya pada adiknya itu.

"Yeh, emangnya gue bakal ngapain?"

🌿🌿🌿

"JADI, semuanya udah tahu kalau lo pacaran sama Arvi?" tanya Reno yang sekarang sedang berada di mini bar, sedangkan Aletta sedang membuka kulkas untuk mencari makanan ringan.

"Iya, emang kenapa? Kesel karena lo belum dapet pacar juga?" ledek Aletta sambil menaruh ponselnya diatas pintu kulkas yang terbuka.

"Bukan begitu. Lo tahu kan, kalau Arvi sekarang aja udah mulai kerja? Gue yakin Ayah khawatir karena lo bakal jadi pilihan kedua setelah kerjaannya," jelas Reno.

Aletta mendengus kesal, lalu menutup pintu kulkas itu dengan sedikit bantingan, membuat ponselnya terlempar ke lantai.

"What the..."

"HAHAHAHA," bukannya membantu atau merasa kasihan, Reno malah tertawa kencang.

Aletta buru-buru mengecek keadaan ponselnya yang sudah tidak berbentuk itu. Seingatnya, tempered glassnya itu sudah ia lepas karena retak. Jadi sekarang, ponselnya tidak ada perlindungan apapun.

"Ren, ponsel gue beneran rusak," rengek Aletta sambil memberikan tatapan peringatan pada Reno agar tidak meledeknya lagi.

"Kalau di service, harganya pasti mahal. Mending beli baru, Lett." Reno berujar serius setelah melihat keadaan ponsel adiknya itu.

"Beli baru gimana? Ini aja baru beli lima bulan yang lalu," sahut Aletta panik.

Ayahnya itu bukan tipe ayah yang senang memanjakan anaknya, Aletta tahu itu. Lagi pula, ini salahnya juga yang terlalu ceroboh karena menaruh ponsel diatas pintu kulkas yang terbuka itu.

"Ya udah.., selamat menabung," ucapnya sambil menaikkan kedua bahunya acuh.

"Ren," panggil Aletta dengan puppy eyesnya, membuat Reno mendengus.

"Ck. Yaudah, gue tambahin dua juta," ucap Reno yang membuat Aletta mendengus kecil.

Masalahnya, ponselnya sekarang saja berharga lebih dari sepuluh juta. Bagaimana caranya untuk mendapatkan uang sebanyak itu dengan waktu cepat dan tidak curigai?

🌿🌿🌿

Arvetta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang