Don't forget to vote and comment.
"BESOK Arvi mau ngelamar kerja jadi guru." Arvi berucap tegas, lalu memakan nasi goreng seafood-nya.
Rendra terdiam sebentar. Sebenarnya ia tidak terlalu terkejut mendengar keinginan putranya ini. "Lebih baik kamu dirumah, nganggur, dan belajar agar menjadi anak nakal," sahutnya.
"Arvi udah dua bulan lulus kuliah, dan Papa sama sekali belum ikhlas ngasih perusahaan Papa ke Arvi," ucap Arvi ketus.
"Ya jelas, kamu masih umur 19 tahun. Bagi Papa, kamu masih kecil dan gak cocok jadi guru. Apalagi pimpin perusahaan Papa," ujar Rendra, lalu ia terbahak melihat wajah kesal Arvi.
"Pokoknya Arvi mau jadi guru, setidaknya sampai Papa mau ngasih perusahaan."
Rendra menghembuskan napasnya kasar, lalu meminum teh -nya. "Oke. Tapi, kamu harus ngajar di sekolah punya Papa."
"Sekolah Arvi dulu? Guru Arvi yang dulu bakal jadi rekan kerja Arvi dong," protes Arvi.
Rendra mengangguk santai. "Ya, dan gak ada bantahan. Senin besok kamu boleh mulai kerja, ngajar Ekonomi. Habis ini, telfon Mama dan Flora," pintanya. Setelah menghabiskan makan malamnya, Rendra langsung bangkit dari duduknya untuk memberi tahu pimpinan sekolah kalau anaknya akan mengajar di Denazza International School.
Arvi menghembuskan napasnya kasar, lalu menyalakan ponselnya untuk menghubungi Sharen, Ibunya dan Denazzandra Gabrielle Claflora, adiknya yang sekarang berada di Bandung untuk liburan bersama. Pada deringan ketiga, panggilannya terjawab.
"Halo, Ma."
"Kenapa, sayang?"
"Ma, hari Senin nanti, Arvi bakal kerja di Sekolah punya Papa," ujar Arvi.
"Wah, bagus itu. Jadi Direktur kan? Atau Ketua Yayasan?"
Arvi memutar bola matanya malas. "Bukan, Ma. Jadi guru," ralatnya.
"APA?!"
Secara refleks, Arvi menjauhkan ponsel dari telinganya. "Kenapa, Ma? Kok kaget?"
"Ya jelas Mama kaget. Kamu sarjana dari Harvard, tapi mau jadi guru? Bukannya Mama merendahkan pekerjaan guru, tapi jurusannya sangat bertolak belakang, Arvi."
"Arvi bisa belajar. Jurusan Arvi itu administrasi bisnis, dan Papa nyuruh Arvi ngajar Ekonomi sampai Papa ikhlas ngasih perusahaannya buat Arvi."
"Okay, Mama setuju. Kalau perlu, kamu bisa nyari calon istri disana." Suara Sharen tiba-tiba berubah menjadi antusias, dan itu membuat Arvi mendengkus kesal.
"Ma, Arvi masih 19 tahun."
Sharen terkekeh geli. "Mangkanya, gak usah buru-buru lulus kuliah. Mama jadi anggep kamu udah gede."
"Flora mana?" tanya Arvi, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Lagi ngambil makan di lobby," jawab Sharen.
Arvi menghembuskan napasnya kasar. "Ya udah, Ma. Arvi cuma mau ngasih tau itu doang. Kalau gitu, Arvi tidur dulu," ujarnya.
"Oke. Semoga berhasil. Mama dan Flora akan pulang besok."
Setelah sambungan telfon terputus, Arvi bangkit dari duduknya, lalu berjalan santai menuju ke kamar.
"Arvi."
Arvi menoleh, dan melihat Rendra yang berjalan kearahnya.
"Kenapa, Pa?" tanya Arvi saat Rendra duduk di sofa yang kebetulan berada didekatnya.
"Pihak sekolah meminta kamu untuk memalsukan data diri," ucap Rendra sambil menunjuk sofa yang berada didepannya dengan dagunya.
Cowok itu duduk di sofa yang tadi ditunjuk Ayahnya, lalu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?" tanyanya lagi.
"Umur kamu masih 19 tahun, Arvi. Nama kamu Denazzaren Malvier Arviendra. Guru baru pasti akan mengira alasan kamu bisa mengajar secara tiba-tiba karena adanya unsur nepotisme. Jadi Papa minta, saat kamu mengenalkan diri, hanya pakai nama Malvier Arviendra, dan umur kamu jadi 27 tahun," jelas Rendra yang membuat Arvi terkekeh geli.
"27 tahun? Emang Arvi kelihatan tua ya?"
Rendra menghembuskan napasnya lelah. "Papa lebih setuju kamu ngambil S2 di Stanford."
"Arvi jadi guru juga buat nambah pengalaman," sahut Arvi. "Kalau gitu, Arvi mau tidur," ucapnya yang diangguki Rendra.
Sesampainya dikamar, cowok itu merebahkan tubuhnya dikasur, lalu memejamkan matanya, membayangkan seperti apa kehidupannya hari Senin nanti.
🌿🌿🌿

KAMU SEDANG MEMBACA
Arvetta ✔️
أدب المراهقين[COMPLETED] A R V E T T A Because I love you, and I want to fix us up. Start: 14 Oktober 2018 End: 3 April 2020 --------------------------------------------------------------------- "Saya Malvier Arviendra. Kalian bisa panggil saya Pak Arvi. Saya...